Header Ads

Soft Opening "Perpustakaan Emha Ainun Nadjib": Sebuah Lonceng Kematian Dunia Buku


Rumah Budaya Emha kemarin malam sepi. Hujan sialan yang bikin orang orang nggak datang ke sana. Sekali lagi kukatakan: hujan kampret! Seharian mengguyur Jogja yang membuat manusianya pada malas bergerak, meringkuk di kamar, dan main game atau berselancar di internet.

'Cak Nun ada kan, Ron?' tanyaku ke Baron. Ia menyibakkan rambut gimbalnya yang panjang. Aku mengumpat dalam hati kenapa punya teman jorok dan bau kaya dia.

'Kamu mulai keranjingan dia, ya ....' sindirnya.

'Pfffttt ....' Aku membunyikan isyarat yang tak mengiyakan ucapannya. Baron sekarang menyemprotkan ingusnya ke tisu dalam suara mengerikan. 'Sori, sori. Pilek jaya, Dan!'

'Ayo cepat masuk!' kukomando agar Baron segera ke dalam Rumah Budaya Emha. Aku sangat paham karakter Baron yang lambat, seperti jalan keong, dan harus dipecut dengan cara militer baru ia bergerak.

***

Sekitar dua puluh orang yang duduk menunggu acara bedah buku "Sudahkah Kita Mengenal Al Qur'an?". Eh, bukan dua puluh ding .... Kurang dari itu! Pantas saja, kubatin. Bahasannya Al Qur'an, jadi tidak menarik. Bukan Cak Nun pula yang jadi nara sumber. Cak Fuad, kakak Cak Nun, yang menulis bukunya. Tentu, gregetnya kurang.

'Eh, Ron Ron,' kubisiki Baron saat ia mengunyah arem arem dengan seriusnya. 'Kau bohongi aku! Katanya Cak Nun buka perpustakaan? Malah diskusi buku?! Bedah buku Cak Fuad!'

Baron menelan arem arem cepat cepat. 'Ini rangkaiannya, Dan! Kalau acaranya cuma potong pita, buka perpustakaan doang, malah semakin nggak menarik ....'

'Aduh, buku mengenal Al Qur'an ....'

'Kenapa dengan Qur'an?'

Kubuang mukaku darinya dan pura pura memperhatikan moderator berbadan bulat mulai membuka acara. Ada dua narasumber di sampingnya; satunya berkopiah putih, kubatin ini pencitraan dirinya, dan lelaki berkacamata beruban rambutnya ada di sisinya.

"Aih .... nggak menarik, Bro!" aku berkata pada diriku sendiri dan menenggelamkan diri pada .... layar Blackberry!

***

Sebetulnya aku suka buku. Suka banget. Sejak kecil aku melahap macam macam buku; filsafat paling jos. Eh, nggak percaya. Entah kenapa, bapa ibuku menjejaliku dengan buku yang banyak orang mengatakan berat. Berat dari mana, ya? Kucermati, para filsuf tak ubahnya saya waktu kecil. Mereka berpikir sederhana. Berbeda dengan orang zaman sekarang yang kompleks berpikir dan rumit.

'Satu buku filsafat yang rampung kau baca, ibu belikan kamu bakso, Dan!' ucap ibuku bersahaja. Aku pun semangat bukan kepalang.

Walhasil, rumah sudah kaya lautan buku. Majalah, ensiklopedia, tabloid masak, semua ada di rumah. Itu tambah semarak kalau bapak pulang habis melaut. Kalau biasanya pelaut kalau mendarat beli elektronik, kasur busa tebal lima puluh senti, perhiasan, tidak dengan bapakku. Ia menghadiahi orang rumah: BUKU.

Anda masih penasaran apakah aku jadi orang bingung karena melahap buku filsafat? Tidak saya yakinkan Anda. Pusing sih iya .... Tapi itu tantangan tersendiri menaklukkan pemikiran para filsuf yang sejatinya kubilang orang sinting yang terjebak di Bumi.

***
Kesukaanku baca buku amblas saat aku berusia lima belas tahun. Waktu itu aku kelas satu SMA. Bapak ibuku cerai. Dan anehnya, mereka dapat pengganti istri dan suami juragan buku. Wah, emosi diriku ini! Aku sudah nggak percaya buku. Juragan buku telah menghancurkan keluargaku.

Aku ikut bapak atau ibu? Stres berat aku memilih antara mereka. Ikut ibu, ketemu bapak tiri juragan buku. Bapak aku ikuti, sama saja. Akhirnya, aku tumbuh dalam kegalauan luar biasa.

***
'Dan ... Dan,' Baron menyenggolku. Aku kaget dalam lamunanku dan BB kuletakkan.

'Apa?' tanyaku.

'Katanya kamu benci buku? Tapi kok mau mengenal Cak Nun yang notabene dia bukuis.'

Baron menyebut pencinta buku bukan dengan kutu buku melainkan bukuis.

'Kau punya trauma dengan juragan buku, kan?' tambahnya.

Aku mendengus keras. 'Justru itu, aku pengin berbaikan dengan buku sekarang lewat Cak Nun. Aku pengin cerita sama dia. Tapi dia lagi di Jepara ya?'

Baron menaikkan pundaknya tanda tak tahu. 'Cerita apa? Markesot?'

Kuperhatikan jam menunjukkan pukul sembilan. Dan aku tak jelas mau berkata apa.

______________________

Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com
Sumber foto; Daniera

Tidak ada komentar