Header Ads

Jogja Kota Seribu Wajah Tuhan



"Jogja Kota Seribu Wajah Tuhan"

Kalimat ini menyentak nuraniku saat aku membuntuti sebuah mobil. Ia tertempel manis dalam bentuk stiker yang tidak mencorong warnanya melainkan teduh. Ornamen yang melingkar lingkar tak ada. Sederhana sesuai dengan karakter Jogja yang apa adanya namun menyimpan mimpi mimpi luar biasanya.

Kupelankan motor China bututku, yang rantainya sudah aus, mempersilakan si mobil bertempel stiker tadi melaju meninggalkanku. Sepanjang Jalan Mataram ini aku mengamati kanan dan kiri. Deretan penjual sepatu ramai melayani para wisatawan yang kalap membelanjakan uang mereka. Juga para penjaja DVD bajakan tanpa takut oleh garukan Satpol duduk duduk santai menanti para pengunjung peminat hiburan murah. Pertanyaan 'Kota Seribu Wajah Tuhan apakah itu?'.

DOR ....

Gusti Allah, kuberseru kuat kuat. Ban motorku meledak menghentikan lamunanku. Sejurus aku bersyukur mungkin ini cara Tuhan menyadarkanku kalau aku meneruskan imajinasiku bisa bisa menubruk orang. Kudorong motorku mencari cari tukang tambal ban. Peluhku bercucuran di tengah teriknya matahari. Mulutku mulai melesatkan kata hujatan pada ban uzur, mafia paku jalanan, dan lain lain. Emosiku tak terkontrol karena sejam lagi aku harus segera sampai di acara sangat penting. Karier menjadi taruhanku saat ini.

'Itu!' teriakku.

Tukang tambal ban ada di depanku sekira dua ratus motor. Ia jongkok sesekali berdiri jungkat jungkit. Kupacu langkah kakiku mendekat bisa kukejar agendaku. Malangnya, tali tasku putus! Buku buku berceceran di jalan. Kupunguti sambil misuh misuh tak jelas. Batinku, selalu saja di saat genting ada tambahan kesialan menimpaku.


'Sabar, Danie ....' sisi baik jiwaku menasihatiku.


Kulanjutkan pesta dorong mendorongku. Ah, kata yang cantik untuk menyikapi keadaan buruk ini. Ya, pesta! Kupikir kembali jika kesialan bisa divermak jadi sebuah hal yang mengasyikkan. Ban meletus jika diresapi dan dimaknai mendalam akan menjelma sesuatu yang menyenangkan.

'Aku bisa lihat lebih jelas ibu ibu tua selepas mereka belanja di Pasar Beringharjo.' kataku pada diriku sendiri dalam hati. 'Kaki mereka yang keriput, tangannya yang kecil tapi kuat, rambut putih mereka yang mengilat terkena sinar matahari. SEMUA!'


'Mari, Mas. Thambal Ban, ya?' seru si bapak tukang tambal ban.

Thambal? Dialek si bapak seperti orang Bali yang memakai "th" bukan "t". Kembali kumenemukan keunikan di Jogja. Kuulurkan motorku dan kuncinya ke si bapak dan ia lincah mendiagnosis penyakit motorku.

'Thampaknya, ban dalam ini harus diganthi, Mas!' katanya.

Api di alat pembakar ban milik si bapak menyala merah. Linggis, palu, dan pusaka andalan lain berserakan di tanah. Beberapa motor yang ditinggal sang pasien tampak seperti orang orang sakit di PKU Muhammadiyah.

'Kalau ganti berapa, Pak?' tanyaku.

Ia menawarkan ban ini dan itu, harga sekian, tetap dalam bicaranya yang Bali sekali. Kuajak mengobrol ternyata ia sudah dua puluh tahun tinggal di Jogja. Anaknya lima, istrinya satu saja, jelasnya.

'Saya di sini nyaman, Mas. Bathin saya thenthram.' ia melanjutkan. 'Thak ada huru hara. Saya thenang bisa beribadat sesuai agama saya Hindu.'

Lumer hatiku mendengar cerita si bapak penambal ban di hadapanku. Ia berhasil merebut simpatiku hingga semakin aku sadar jika Jogja sangat istimewa buat orang orang tak hanya diriku. Semua. Dan tak bisa dipungkiri jika Jogja benar kota yang Tuhan akan menampakkan seribu wajahNya.

_________________________
Sumber gambar: jakartaweekend.com
Mengobrol teduhlah kita di www.rumahdanie.blogspot.com






Tidak ada komentar