Header Ads

Alladin dan Jin Lampu Wasiat (Bagian 1): The Last Temptation

Alladin membanting lampu wasiat. Ia marah bukan kepalang karena si Jin tak muncul muncul. Digosok dengan tangan, tak ada tanda tanda. Lalu, ujung baju dibuat mengeluarkan si Jin, tak ada reaksi. Alladin bertanya di dalam hati, ada apakah gerangan dengan si Jin? Selama ini, ia sangat penurut. Di saat genting, nasib tak berarah kepada Alladin, si Jin selalu siap sedia membantu.

 'Apakah aku melakukan kesalahan besar kepada si Jin?' Alladin menggerutu. 'Sepertinya tidak. Aku selalu memberi makan enak, setelah tiga permintaanku dikabulkan si Jin.'

 Hari Rabu. Pagi. Awan sangat gelap. Tanda akan hujan lebat. Anjing milik tetangga yang sering menggonggong, tak terdengar lagi. Ibu ibu rumah tangga mencuci baju dengan perasaan galau, apakah cucian akan kering dalam waktu cepat. Karena dua tiga hari mendatang banyak manten, walhasil harus menyumbang duit diikuti dengan baju yang moncreng. Arab sudah tidak lagi seperti dahulu. Hujan di mana mana. Tak jarang banjir. Tak perlu takut dengan cerita padang pasir yang super panas. Sekarang zaman sudah berubah.

 Lampu wasiat berkeping keping. Tak berujud lagi, tak indah lagi. Dan tampak si Jin masih tidur dalam ukuran sangat kecil.

 'Hai Jin. Bangun.' sentak Alladin. Tak ada respon. 'Jin. Bangun. Aku butuh kau!'

Sejurus kemudian Alladin beride berlari mencari air. Mencari cari air. Bersa'i seperti Siti Hajar, Bunda Nabi Ismail, yang tak ingin anaknya kehausan dan mati dehidrasi.

''Tunggu Jin, aku akan membangunmu dengan paksa.'' batin si Alladin.

Jauh berlari, ia tak menemukan air. Panik, Alladin mencak mencak.

'Tuhan, guyurkanlah hujan barang sepuluh menit. Aku sangat butuh. Buat membangunkan si Jin. Agar dia mau mewujudkan segala keinginanku.'Alladin berseru menyayat. Baru kali ini ia berpasrah total dengan masalah teramat berat ini. Baginya, si Jin adalah segalanya. Dan Tuhan, adalah jikalau masalah mencapai titik mentok. Oh, Alladin memang sangat bijak.

 Tuhan menjawab dengan tuntas. Hujan melanda gurun pasir. Tidak sepuluh menit seperti yang diingini si Alladin. Bahkan satu jam. Ditambah dengan guntur yang menggelegar seperti bom Nagasaki dan Hiroshima. Alladin basah kuyup. Tapi, ia girang. Pasti si Jin bangun saat diperciki air di mukanya. Si Alladin, lari kembali ke tempat Alladin tadi tertidur dengan serpih lampu ajaib.

 'Jin, bangun! Aku siram kau!' teriak Alladin yang berlari lari.

 

Ternyata, tak ada lagi Jin dan serpih lampu wasiatnya. Padahal, ini benar benar tempat yang tadi.

'Jin, kemana kau!'

 

'Ho ho ho. Aku di sini BOS!' jawab suatu suara. Dalam, dan tak asing lagi di telinga si Alladin.

'Jin, untung kau tak apa apa. Kau hidup kembali.'

Saking gembira, Alladin tak bisa membedakan antara belum bangun dan mati.

'Iya Bos. Aku tadi kehujanan.' ucap si Jin sembari terkekeh.

'Dan berkat hujan itu, aku jadi besar lagi. Aku malu, Bos melihatku tadi masih kecil ya.

''Tidak apa apa, Jin. Kau kembali lagi, aku sudah sangat bersyukur.'

 'Oke Bos. Ada order pesanan apa sekarang?' tantang si Jin.

'Oh ya, sebelumnya aku minta maaf Bos. Lampu tempatku tidur, nanti diganti ya. Aku nggak mau nggembel, Bos.'

'Santai saja Jin. Aku pasti ganti.'

'Kenapa bos marah marah sih? Sampai lampuku Bos banting?' tanya si Jin.

'Aku lagi kelas Jin.'

Si Jin bingung. 'Kesal kenapa Bos? Sama siapa Bos? Aku bunuh orang itu apa Bos?'

'Jangan Jin. Berbahaya. Ini masalah harkat dan martabat. Jadi jangan buru buru.'

'Harkat martabat apa sih Bos. Aku nggak maksud.' ucap si Jin.

'Nanti aku jelaskan. Kita cari makan dulu. Biasa, di warung Doyong Janda Cici.'

'Siap Bos. Manut saja. Yang enak ya.'

'Beres.'

Tidak ada komentar