Header Ads

TARAWIH PERDANA di CIAMIS

Niat cepat cepat saya tinggal di Tasikmalaya sebetulnya pengin merasakan bulan puasa di kota santri ini. Pasti lebih meriah, pikir saya. Dalam bayangan saya, tak hanya takjil yang masjid dan musholanya hamparkan untuk warganya kenyang, kota Tasikmalaya akan membagi bagi nasi nonstop. Tidak para miskin yang berpanen, mereka yang berlebihan harta ikut pula berebut asupan pengisi perut. Semua bahagia di Ramadan.

Mendekati bulan suci, aroma puasa di Tasik sudah terasa. Kebetulan berbarengan dengan wisuda para santri di sini, banyak acara pelepasan yang islami. Lengkap deh! Semakin menjadi jadi imajinasi saya kalau nanti nasi banyak sampai sisa sisa dan dikasihkan ke ayam di kandang warga.

***

Hati saya tergerak mendekati masjid agung Tasik. Menikmati keindahan arsitektur bangunannya yang tegas namun lembut khas Priangan Timur, saya nyaman salat di sini. Tiap ada waktu luang, saya kesini untuk salat dan tak berniat tidur karena ada larangannya.

'Tarawih pasti saya rajin di sini!' seru saya berjanji pada diri saya sendiri.

Ceramah kiai masjid agung nanti saya lahap habis berujung bersinarnya jiwa saya ke penjuru bumi. Alunan ayat ayat Qur'an pula menggosok hati saya seperti akik yang berkilau kilau. Sudah tak sabar saya menyambut bulan Ramadan di kota Tasikmalaya.

***

Tanpa dinyana, saya berada di kota Ciamis pas tarawih perdana. Saya juga tak mengerti mengapa otak saya mengarahkan diri saya ke tetangga Tasik itu. Tetiba saja tangan saya mengegas Vario menuju Ciamis. Memang sudah lama saya pengin ke Ciamis. Belum punya teman asal situlah yang bikin saya enggan meluncur.

'Ciamis air amis? Habis makan ikan mungkin, ya? Terus kita cuci tangan di kobokan!' pikir saya ngaco suatu waktu.

Teman saya memberi tahu kalau Ciamis itu air manis. Amis dalam bahasa Sunda berarti manis. Air tanah yang ke luar dan diminum warga berasa ada manis manisnya begitu. Dua makna itulah yang menggerakkan saya ke Ciamis justru ketika mimpi saya tarawih kali pertama di Tasik menggebu gebu.

Sampai di Ciamis, saya ternganga oleh masjid agung yang terletak di pusat kota yang ciamik melebihi Tasik. Ini lebih megah dan memendar. Alun alunnya rapih dan bersih dengan warganya bisa duduk lesehan sembari memesan lalu menyantap kuliner. Gerobak gerobak penjual aneka makanan dan minuman tertara apik hingga kita nyaman membelanjakan uang kita.


Magrib sudah saya jalani bersama warga Ciamis di masjid megah ini. Perut saya tak mau kompromi meminta saya segera menghujaninya dengan makanan khas Ciamis. Ayam goreng, seru saya. Kota ini terkenal dengan ayam goreng serundengnya yang mantap. Di Tasik ada jalan khusus yang khusus menjual ayam goreng Ciamis. Mumpung di Ciamis, saya kudu makan yang aslinya. Dapat!

'Berapa, A?' tanya saya pada sang penjual.

'Seporsi tiga belas ribu, Mas!' Selalu saja orang tahu saya Jawa dan memanggil saya dengan 'mas' karena logat medok saya.

Nasi berbungkus daun pisang, sepotong ayam, tempe, dan tahu. Perut saya girang bukan kepalang dan menghentikan tendangannya. Setoples serundeng menari nari di atas meja, langsung saya sambar ketika pesanan hadir.



***

Malam menggelap, bulan menggeliat manja menempel di langit. Azan memekakkan telinga saya memaksa saya menandaskan ayam goreng Ciamis. Segera saya cuci tangan di kobokan, saya baui dan amis. Kembali lagi, saya yakin Ciamis ya ini. Bukan air manis.

Entah kode alam apa yang menarik saya ke Ciamis pada hari perdana puasa. Barangkali, pujaan hati saya akan berasal dari kota ini? Atau, saya akan memboyong ayam goreng Ciamis ke luar negeri kelak? Tidak tahu.

'Tarawih!' seru saya mengangkat bokong balik ke masjid agung Ciamis.

Tidak ada komentar