Header Ads

RAJAPOLAH, PECICILAN?


Benci saya pada tante dulu setengah hidup. Kini sih agak terlupakan rasa geregetan saya padanya karena kami sudah tinggal berjauhan. Catatlah, saya tak pernah merindukannya. Kenapa saya bisa tidak menaruh hati saya sebagai keponakannya? Sebabnya, ia tak pernah memberi apresiasi yang membuat saya bungah hati melainkan seperti terpuruk.

'Semua orang bisa kaya yang kamu lakukan,' masih saya ingat sorot mata tante mengandung bakteri mematikan terarah pada saya. 'tak ada yang spesial darimu!'

Seorang bocah yang tengah tumbuh, punya prestasi gemilang di sekolah, alih alih tantenya memberi hadiah sebatang pensil, ia mendapat serangan yang melimbungkannya. Asli, itu saya! Makanya, sampai sekarang saya beranjak tua, tak ada respek saya pada tante. Kadang saya berpikir itu caranya memecuti saya biar lebih bagus. Tapi bedebah rasanya menyakitkan!

***

Pernah suatu kali, tante saya menyosor dengan kalimat yang dulu saya tak mengerti. Ia mengatakan saya tak ubahnya bocah autis yang tak bisa ibunya mengendalikan pecicilannya saya. Halooo, saya bocah diam. Anteng meski gempa memorakporandakan kampung, saya akan tak banyak bicara. Tante saya menjelaskan bukan pergerakan tubuh saya melainkan otak.

'Pikiranmu ke mana mana. Apa sih yang kamu mau?!' serunya.

Sejak itu, saya bertanya tanya autis itu apa. Baru semasa kuliah, kata itu bisa saya pahami jika bocah yang tak mampu fokus dan pecicilan alias hiperaktif. Apakah saya seperti itu?

'Raja polah kau!' hardik tante saya.

Sejauh jarak saya sama tante, pikiran keautisan itu hilang. Namun, sejak saya tinggal di Tasikmalaya, ada nama daerah yang membuat saya penasaran yaitu Raja Polah. Pikir saya, tempat ini terapi anak anak autis. Tapi saya sudah gede begini, apa bisa disembuhkan lewat obat obatan atau pijat di sana?

Selasa, 9 Juni 2015, tanpa mencari informasi yang lengkap, saya meluncur ke Raja Polah berbekal baju ganti buat jaga jaga. Uang yang saya bawa tak banyak. Kalau nanti kurang, saya bilang saja kalau dari ekonomi miskin pasti terapisnya kasih keringanan.

***

Jam sembilan pagi saya cus ke Raja Polah dalam harapan saya sembuh dari kepecicilan otak saya. Saya bisa fokus dan tak galau terus terusan menghadapi hidup. Saya segera menikah, intinya itu. Bismillah, nawaitu.

Raja Polah ialah Kota Tasikmalaya coret. Alias masuk kabupatennya. Dalam pacuan Vario hitam saya keluaran 2013, kanan kiri jalan pemandangannya ciamik. Hehijauan sawah dan pepohonan membikin saya damai. Sejauh mata saya mampu memandang, bukit bukit elok juga menambah tentram sanubari saya.

Masuk Raja Polah kok saya menangkap keanehan. Pinggir jalannya banyak toko yang menjual aneka kerajinan. Alamak, Raja Polah bukan pecicilan melainkan sentra kerajinan rakyat. Jidat saya pukul berkali kali tanda saya meratapi kenapa tak cari informasi detail tentang Raja Polah!

Nasi sudah jadi bubur, tinggal menambahi suwiran ayam, daun bawang, kacang kedelai sangrai, bumbu sedap, bubur ayamlah kita dapat. Kecewa memang wajar. Namun bagaimana mengolah kekecewaan itu sebagai bibit kegembiraan, itulah yang musti saya bikin. Tak dapat terapi autis, sentra kerajinan rakyat oke juga.

Walhasil, saya berwisata di Raja Polah menikmati seni orang Tasikmalaya sampai siang.

Tidak ada komentar