Header Ads

Pengayuh Becak Vs. Puteri Keraton

Mengayuh sejarak kakiku mampu, aku membawa seorang puteri. Mengantarkannya menuju Puri Bangsawan. Dia menawarku dalam hitungan sepuluh sen, aku meminta lebih lima sen. Akhirnya, dia mengizinkan. Sungguh suatu kebanggaan melayani puteri yang sangat jarang ditemui oleh orang kelas rendah, sepertiku.

            Aku tak mungkin menanyakan sesuatu, tak pantas dilakukan oleh seorang pengayuh becak. Dewa-dewa akan mengamuk jika tahu walaupun sekadar niat. Segala tingkah laku dibatasi oleh norma, rakyat bawah harus menerima titah itu. Tanpa boleh memperbincangkan, meresapi, harus diamalkan.

            Puteri yang kulayani tidak seperti anggota bangsawan lain. Tak ada kesan angkuh pada dirinya, aku menemukan kerendahan hati. Pancaran kebaikannya menyelimuti setiap langkah kecilnya yang seperti diseret. Adat mengharuskan seorang bangsawan menjaga setiap gerak-gerik saat menapaki bumi. Langkah yang anggun menandakan penghargaan manusia terhadap dunia yang diinjaknya. Tapi, puteri di depanku melewati satu langkah menuju kebaikan, setidaknya dari sisi pemikiranku. Menerima adat itu, namun memberontak melalui cara berpikirnya bagi rakyat jelata.

            “Puteri, hendak ke manakah gerangan?” aku memberanikan diri bertanya.

            Biasanya memang seorang puteri selalu kembali ke Puri Istana, tapi aku ingin memastikan jika dia mempunyai kehendak lain.

            “Bawa saya ke taman kota, Pak!” jawabnya.

            Bagaimana bisa dia menyebut dirinya dengan panggilan ‘saya’. Bukankah nyata-nyata aku adalah bangsa miskin yang tak mempunyai hak untuk dihormati. Ucapan orang-orang kini terbukti nyata. Puteri ini memang lain daripada yang lain. Sebutan baginya ‘Puteri Pijaran Bulan’ memang pantas. Seakan malam remang ini menjadi terang dengan ucapannya.

            “Pak, bolehkah saya bertanya?”

            “Tentu, Tuan Puteri.” Jawabku agak tercekat.

            “Saya ingin memberikan sesuatu kepada Anda,” Dia berbalik menatapku dan mengacungkan sesuatu. Sepertinya sebuah surat. “Berikan ini kepada istri dan anak Bapak.”

            “Maaf, Tuan Puteri. Tak pantas kami menerima penghargaan sebesar ini. Maaf, Tuan Puteri.”

            “Tak usah malu, Pak. Ini hanya kenang-kenangan buat keluarga Bapak. Jangan ragu untuk menerimanya.”

            “Baik, Tuan Puteri. Terima kasih. Semoga Dewa Pengatur Hidup memberikan panjang umur bagi Tuan Puteri.”

            “Terima kasih, Pak.”

            Semangat kumenjulang, kukayuh pedal becak dengan semangat. Aku tak sempat lagi menyeka keringat yang meleleh di wajahku. Pancaran kebaikan sang Puteri membuatku larut dalam kegembiraan. Dalam setiap keluaran napasku, aku membayangkan surat apa yang dialamatkan kepada keluargaku. Menanti-nanti cemas, taman kota telah dekat di hadapanku.

            “Semoga Tuan Puteri menikmati malam di taman kota. Dan terima kasih atas surat ini.” Ucapku.

            Di tengah taman kota, sosok lelaki tampan telah menunggu. Sepertinya dia bukan berasal dari golongan bangsawan. Lelaki itu berpakaian biasa namun tampak memesona. Sang puteri melambaikan tangannya kepadaku. Aku menuju rumah dan ingin melaporkan pengalaman berkesan ini kepada istri dan anak-anakku.

Tidak ada komentar