Happy Hours Warnet Kita
Menunggu waktu Happy Hours.
Tepat pukul 00.00.
Bergegas dari kamar kos, menuju warnet kesukaan.
'Saya akan meng upload foto foto terbaru saya.' batin saya bangga.
Pasti, aneka komentar seru serta merta saya terima. Dari kecentilan saya berpose. Bergaya aneh, cool, ataupun sedih. Semua saya pamerkan kepada para teman. Dan, saya yakin jika itu akan membuat warna kehidupan bagi mereka.
''Foto heboh, kenangan di Pantai Parangtritis'', begitu saya beri nama album saya. Di facebook, juga di twitter, friendster, entah di jejaring sosial mana lagi, susah disebutkan.
Inilah saya, dengan kelebihan yang saya miliki.
Happy hours memang menyenangkan. Diselingi canda chating bersama sobat yang haus ketawa, karena sudah jenuh menonton acara televisi yang sebagian besar hasil saduran. Juga kadang mengintip laman porno, malu malu kucing, dan terpuaskan. Beginilah kehidupan malam malam saya. Yang penuh dengan ilusi tak bertepi.
Bagaimana dengan modem?
Tak perlulah. Itu tak memberikan imajinasi liar. Terlalu berlebihan. Modem hanya diperuntukkan bagi mereka para kaya yang sangat miskin kreativitas. Menghamba kepada uang dan kenikmatan diri sendiri.
Dengan ber happy hours, kita berbagi kepada pemilik warnet. Sharing, orang modern berkata demikian.
Satu jam, dua jam, lupa daratan. Saya sudah berada di lingkungan sesat.
Penuh dengan khayalan yang entah.
Lupa shalat. Lupa dengan nama diri sendiri, karena lebih nyaman mengaku sebagai John, Frederico. Dan nama daerah lenyap tak berbekas.
Dan ini saya nikmati hari ke hari.
Bersama teman teman saya.
Cekikan di dini hari, menjemput subuh.
Selanjutnya tertidur pulas. Mengorok bersama kodok kodok yang mendengkur karena tak lagi hujan.
Tepat pukul 00.00.
Bergegas dari kamar kos, menuju warnet kesukaan.
'Saya akan meng upload foto foto terbaru saya.' batin saya bangga.
Pasti, aneka komentar seru serta merta saya terima. Dari kecentilan saya berpose. Bergaya aneh, cool, ataupun sedih. Semua saya pamerkan kepada para teman. Dan, saya yakin jika itu akan membuat warna kehidupan bagi mereka.
''Foto heboh, kenangan di Pantai Parangtritis'', begitu saya beri nama album saya. Di facebook, juga di twitter, friendster, entah di jejaring sosial mana lagi, susah disebutkan.
Inilah saya, dengan kelebihan yang saya miliki.
Happy hours memang menyenangkan. Diselingi canda chating bersama sobat yang haus ketawa, karena sudah jenuh menonton acara televisi yang sebagian besar hasil saduran. Juga kadang mengintip laman porno, malu malu kucing, dan terpuaskan. Beginilah kehidupan malam malam saya. Yang penuh dengan ilusi tak bertepi.
Bagaimana dengan modem?
Tak perlulah. Itu tak memberikan imajinasi liar. Terlalu berlebihan. Modem hanya diperuntukkan bagi mereka para kaya yang sangat miskin kreativitas. Menghamba kepada uang dan kenikmatan diri sendiri.
Dengan ber happy hours, kita berbagi kepada pemilik warnet. Sharing, orang modern berkata demikian.
Satu jam, dua jam, lupa daratan. Saya sudah berada di lingkungan sesat.
Penuh dengan khayalan yang entah.
Lupa shalat. Lupa dengan nama diri sendiri, karena lebih nyaman mengaku sebagai John, Frederico. Dan nama daerah lenyap tak berbekas.
Dan ini saya nikmati hari ke hari.
Bersama teman teman saya.
Cekikan di dini hari, menjemput subuh.
Selanjutnya tertidur pulas. Mengorok bersama kodok kodok yang mendengkur karena tak lagi hujan.
Post a Comment