Header Ads

Menyoal 'Tak ada Minoritas-Mayoritas' a la Sultan Hamengku

Wacana 'Tak ada mayoritas-minoritas di negeri ini' yang diungkapkan Sri Sultan tak ubahnya berbual di siang hari. Bagaimana bisa ia mengatakan hal itu? Indonesia terlampau parah melaksanakan berbagai peraturan kolonial yang sarat pembedaan. Jika sang Raja berucap tentang diskriminasi, agaknya ia ingin menyentil pribadi kita untuk mempertanyakan seberapa besar kebenaran informasi tersebut. Bukan untuk langsung ditaati layaknya Rasul beroleh firman dari Tuhan. Raja juga manusia.

Minor dan mayor tidak hanya dalam hal warna kulit. Kesukuan adalah berkah yang harus disyukuri untuk tidak dibedakan. Di Indonesia, diskriminasi yang tampak nyata adalah masalah kesempatan. Orang bijak dikalahkan para bedebah tak tahu aturan. Kemiskinan menjadi tumbal para kaya yang semakin memupuk dunia mereka. Kepicikan dan rasa dengki mengalahkan rendah hati. Dan ini hampir pasti ditemui di segala lini. Coba tanya, berapa rupiah yang dikeluarkan ayah ibu agar seorang anak masuk Akademi Kepolisian? Berapa juta orang mendaftar PNS yang menawarkan tempat kerja siap pakai laksana kondom instan? Dan, tanyalah pendapat orang per orang terhadap pemuda desa yang bertekad berwirausaha? Jawabnya adalah 'ia tidak bekerja'. Kerja adalah melaksanakan, bukan mencipta. Itulah potret negeri kita yang diaku sebagai Zamrud Khatulistiwa.

Aku pasti tak berkutik jika dihadapkan dengan Sultan. Karena ia berada di dunia obrolan, aku di tulisan. Secara pasti aku ditelanjangi untuk hilang intelektualitas, menyerah demi pemujaan membabi buta kepada sang Raja. Ada baiknya aku diam, menyaksikan secara independen sepak terjang Rajaku yang bertekad menjadi Presiden. Jika berhasil, dapatkah ia menjelaskan pemikirannya melalui sebuah buku agar lebih bisa dipertanggungjawabkan. Tidak kepada rakyat Jawa saja, tapi bagi seluruh bangsa Indonesia.

2 komentar: