Header Ads

Burung Garuda di Persimpangan Jalan (Dipelototi Banteng)

    Burung garudaku tak lagi merentangkan sayapnya. Kedua belah sayapnya terkatup, menutupi kemaluannya. Menyembunyikan rasa paling nadirnya, malunya sebagai sebuah simbol negeri. Kepalanya menunduk, air matanya menetes di pita yang dicengkeram kuku-kuku kakinya. Dia sangat malu, menyesal mengapa manusia-manusia di negeri tempatnya hidup memilihnya menjadi kebanggaan negeri. Adakah yang salah dengan semua yang telah dilakukan anak bangsa tempo dulu?
    Bulu sayapnya melayang ke tanah. Bergulir, berputar-putar terlebih dahulu. Tak cuma satu, ada empat bulu yang kini teronggok di permukaan tanah. Dua sebelah kiri, dua sebelah kanan. Tidak lagi tujuh belas, tapi lima belas di setiap sisinya. Bulu-bulu di leher, leher, dan buntutnya juga sudah tak genap lagi. Terlihat botak dan tak enak dipandang lagi. Burung garuda menuju kematian. Sebentar lagi.
    Tamengnya tak berada di tempatnya semula. Miring beberapa derajat, tak lurus. Gambar-gambarnya sudah tak jelas lagi. Mengelupas catnya. Oh tunggu, jika dilihat dari jarak yang lumayan dekat, masih bisa terlihat sisa-sisa bentuk gambarnya. Tapi, sepertinya sudah sulit untuk dikenali. Ada gambar menyerupai pohon. Pohon itu tumbang tersungkur di tanah. Mungkin saja ada angin puyuh yang merobohkannya. Ada binatang bertanduk, tapi bukan banteng. Aha, ternyata kambing hitam. Tapi, binatang itu terlihat sedih, sesenggukan, dan merana. Mungkin dia yakin sebentar lagi nyawanya akan melayang saat penjagal datang.
    Masih ada gambar lain yang perlu dilihat. Rantai, bukan ... tapi mengapa telah terkoyak. Sudah tak menyambung satu dengan lainnya. Berceceran di mana-mana dan dilaburi darah merah segar. Kemungkinan besar darah hasil cipratan eksekusi mati para penjahat kemanusiaan. Mengerikan.
    Simbol lain yang nelangsa mirip padi dan kapas. Hampir hilang semuanya. Sebentar, mengapa kini dia menghilang saat angin berembus kecil. Seakan terusir menuju ke tempat lain. Kesejahteraan yang dilukiskan dari gambar itu berpindah ke negeri lain, yang mencuri warisan budaya kita. Karena ketidakbecusan kita menjaganya. Tapi tak jadi masalah, bisa kita balas di kemudian hari.
    Bintang, warnanya yang kuning berpijar masih terlihat jelas. Tidak seperti yang lain, simbol ini masih tegak berdiri. Namun anehnya, sekarang ia tidak sendirian. Ia ditemani keenam temannya. Mereka saling berpadu seakan menawarkan obat penghilang nyeri kepala. Melepaskan semua bimbang di tengah kacaunya negeri.
    Petir menyambar. Tali yang menyangga tameng itu putus. Simbol negeri kandas. Burung garuda tersengat. Harga dirinya terlecehkan, merasa terhina dan ingin membalas semua ketidakadilan ini. Dia melolong keras dan menggelegar, membangunkan seluruh warga untuk bangkit. Melawan semua pelecehan ini. Garuda itu terbang ke angkasa, mengumumkan kepada seluruh penduduk negeri untuk kembali melakukan pemilihan simbol negeri. Merumuskan kembali apakah simbol negeri telah dimaknai warganya dengan baik. Menuntut warga untuk lebih kritis menilai keberhasilan ataupun kegagalan sang garuda.
    Banteng?
    Matahari?
    Pohon beringin?
    Bintang?
    Bulan?
    Macan?
    Atau yang lain?



4 komentar:

  1. Apa kubilang, coba pilih Dewi Peach sebagai simbol negeri, tentu mantab.

    BalasHapus
  2. Owww dasar sinting ...
    Kalau mlotrok gimana?
    Mau masangin punya dia?

    BalasHapus
  3. Lah, kan itu emang disengaja dia...... Menghibur penonton, hehehe......

    BalasHapus
  4. Jangan Suudzan
    Pelajaran agamamu dapat nilai berapa sih? :P

    BalasHapus