THE RAID 2 "Berandal": Kutukan Sebuah Film Sekuel
Masuk Blitzmegaplex Serpong, Tangerang, saya berekspektasi tinggi pada sekuel film The Raid yang tahun lalu menggedor kancah perfilman Tanah Air dan dunia. "Serbuan Maut" seri pertama yang meskipun lemah dalam segi cerita, namun menyuguhkan duel indah pencak silat secara artistik. Dari menit awal sampai akhir, Gareth Evans sebagai sutradara mampu mengarahkan Iko Uwais cs berakting secara optimal. Meski sekali lagi, jalinan cerita pada filmnya kedodoran di mana mana. Evans terlampau asyik bermain main dengan pertarungan para tokohnya.
FILM BERDURASI LEBIH PANJANG
Ketika membeli tiket, saya sudah curiga kenapa bangku tidak ludes terjual. Apakah ini berarti pamor The Raid sudah meredup? Saya terus mendorong diri saya untuk tidak mundur menonton film ini. Tujuan saya simpel saja: mendukung film laga kita yang tengah mendapatkan momen terbaiknya. Baiklah, saya masuk ruang bioskop!
Satu jam duduk, saya terserang rasa bosan. Gareth Evans sepertinya sedang berusaha membangun kisah yang malah menjemukan. Rama, peranan Iko Uwais, disusupkan ke penjara yang di situ ada anak seorang Bangun, Tio Pakusadewo, musuh Rama di "Serbuan Maut". Jalan ini ditempuh untuk membongkar jaringan kelas kakap organisasi kejahatan terbesar di Jakarta. Agaknya, Evans yang selain sebagai sutradara juga merangkap penulis dan editor film, kewalahan dengan tokoh tokoh pendukung yang ia tampilkan sehingga prolog yang dibutuhkan terlampau panjang.
Tugas Gareth Evans yang rangkap membuat film ini luput dari berbagai sisi. Teknik pengambilan gambar ketika duel tengah terjadi seperti tidak fokus dan lengah merekam gerakan para pesilat. Di sini dapat kita rasakan jika film sangat menjemukan.
ADEGAN KELEWAT BRUTAL dan SADIS
Jangan harap mendapatkan duel seru yang membuat jantung kita empot empotan di "Berandal" karena tertampil hanya setengah jam terakhir. Selain itu, film ini terlalu menjual adegan pembantaian yang darah berceceran dengan aksi provokatif yang bikin mual. Alih alih seru, "Berandal" cenderung menjadi sebuah tontonan kampungan yang hanya mengejar para penonton penggemar kebrutalan.
Bisa dikatakan "Berandal" sudah jauh meninggalkan sinema aksi cantik pendahulunya "Serbuan Maut" yang menahbiskan pencak silat sebagai seni beladiri ciamik milik bangsa. The Raid malah bergeser ke selera Hollywood yang mengedepankan darah, tabrakan maut, dan sikap kasar.
Ada sesi cerita yang membuat saya bertanya tanya yaitu ketika salju turun di arena laga padahal notabene Jakarta punya. Apakah itu sebuah efek dramatis yang diciptakan Evans? Atau pemanis yang membuat kesan sedang di Jepang? Ini membingungkan sekali!
KEUNGGULAN "BERANDAL"
Sebetulnya, ide dasar Gareth Evans sudah cukup baik yaitu mengembangkan karakter sehingga film tidak melulu berkesan baku hantam. Ada tokoh Ucok, diperankan Arifin, yang menonjol di film ini. Selain itu tokoh bengis pendukung lain tak kalah bagus berperan yang menyemarakkan film. Namun Evans tampak jelas kurang mahir menggabungkan banyak karakter sehingga tidak tercipta semacam simfoni ketokohan yang mengangkat derajat film.
Tanpa mengurangi usaha seluruh kru film "Berandal", saya mengapresiasi tinggi film ini yang semoga gaung ketenarannya menembus seluruh dunia. Salam film indah Nusantara!
-------------------------
Mari merapat di www.rumahdanie.blogspot.com
Post a Comment