Header Ads

KENAPA RHOMA IRAMA LAYAK sebagai PRESIDEN

Profesor Awang, dosen pembimbing skripsi saya yang super galak, tetiba menelpon saya lima belas menit lalu. Mendengar suaranya, saya seperti balik ke masa lalu saat si Prof membantai saya di ruang pendadaran sampai saya nyaris terkencing kencing. Namun saya bersyukur ia meluluskan saya karena kepiawaian saya melumpuhkan hatinya berbekal senjata "Baik, Pak. Saya akan perbaiki!".

Apa yang Prof. Awang obrolkan dengan saya selama sejam?

~Ia membujuk saya untuk memilih Rhoma Irama sebagai Presiden Indonesia di tahun ini~

Ini sangat kontras dengan karakter Prof. Awang yang pernah saya kenal. Ia fanatik musik metal tingkat akut dan menganggap jenis musik lain adalah lemah dan tak bertenaga. Baginya, menikmati musik selain metal tak ubahnya gosok gigi pakai sikat WC. Sampai sampai tiap saya bimbingan skripsi, Prof. Awang memutar musik metal piringan hitam dengan volume suara kencang.

'Metal itu kaya daging domba. Membakar libido! Darah kita mendidih untuk mengubah apapun ke arah lebih JOS!' serunya.

Sekarang ia mencoba memengaruhi saya untuk mencoblos Bang Haji Rhoma? Ada apa dengan Prof. Awang? Mungkinkah seseorang berhasil mencuci otaknya menjadi dangduters? Saya ceritakan terkhusus pada Anda!

***

Prof. Awang menjelaskan jika ia tidak memandang partai politik apa yang mencalonkan Rhoma Irama. PKB jelas tidak mungkin cocok dengannya karena di telinganya nama partai mirip "bangkit dari kubur". Ini berarti Muhaimin Iskandar adalah sesuatu yang gaib semacam pocong gentayangan yang durhaka pada Gus Dur.

'Nak Danie.' Prof. Awang mulai menjelaskan. Saya memang telah ia anggap sebagai anak pembantunya.
'Ya, Prof.' jawab saya sopan.

'Saya mengaku dosa telah berpikir musik selain metal adalah kerak neraka. Rhoma Irama mengubah sudut pandang saya.'

'Kenapa, Prof?'

Prof. Awang menceritakan jika ia waktu itu patah tulang karena terpeleset saking semangat jingkrak jingkrak mendengar metal di ruang kerjanya. Ahli sangkal putung yang menyembuhkannya. Si prof tak pernah percaya sama dokter karena mereka pembual penjual obat kimiawi dan sengaja membinasakan jamu tradisional. Kala terapi, tukang sangkal putung menyanyikan salah satu lagu Bang Haji Rhoma.

'Lagu Rhoma penuh makna dalam. Melodinya tak akan lekang oleh zaman. Penggemarnya bejibun. Dia jenius yang bisa memengaruhi, menggerakkan, dan mengarahkan orang menuju kebaikan!' kata Si prof.

'Tapi itu bidang seni, Prof. Belum tentu di dunia politik.' saya menyangkal.

Sekejap saya sadar jika Bang Haji telah berpolitik lama sejalan dengan kisah asmaranya yang menggelora. Protes saya patah.

'Ketimbang kamu golput, Dan? Tidak tanggung jawab kalau tidak memilih lho!' Prof. Awang masih membujuk saya.

'Saya takut kalau Rhoma jadi presiden kita diwajibkan pakai jubah dengan selendang dilingkarkan ke pundak, bergitar, naik kuda sebagai transportasinya ....'

'Stop, stop, stop!' Si Prof menghentikan ketakutan saya. 'Alasanmu berlebihan! Tidak mungkin lah ....'

'Saya pertimbangkan ya, Prof.'

'Saya tunggu jawabanmu, Dan!'

Saya merenung oleh obrolan saya dengan Prof. Awang. Bayangan saya meluncur ke Inul Daratista dan pedangdut yang mendapat semprotan dari Bang Haji. Agaknya, mereka bisa dipasangkan menjadi Dwi Tunggal Republik. Semua luka lama antar mereka terhapuskan memberi contoh betapa saling memaafkan atas khilaf dibutuhkan negeri ini. Rekonsiliasi kalau orang sekarang menyebutnya. Berawal dari dangdut, negeri ini makmur. Salam dangdut jaya.

Tidak ada komentar