Header Ads

TEKWAN MENU RASIS?

Perkumpulan ini kami bentuk empat belas tahun lalu bulan Desember di Malam Jumat Kliwon ketika malam gelap dengan angin sepoi membelai beli tengkuk dan ketiak kami karena kami berkostum wajib you-can-see. "Pecinta Mati Pempek" begitu kami menerjemahkan diri di antara belantara komunitas yang hingar bingar. Kami ada enam orang dari macam macam suku. Lidah kami sama: mencintai pempek secara gegap gempita.

'Kalau makan kapal selam, aku membayangkan bertemu lima puteri duyung di kedalaman seratus meter. Dan aku menawari bisnis Oriflame ke mereka!' seru Manuputy dari Ambon di antara denting piring kami menikmati lezatnya pempek.

'Pempek kulit favorit saya!' Iteung dari Sunda menambahi dengan mulutnya mengunyah ngunyah bersemangat. 'Pas pempek kulit masuk ke mulut, saya merasa itu kulit ayah saya. Saya lumat habis biar dendam saya terbalas karena dia suka menyiksa kalau saya telat pulang rumah.'

Berbeda dengan saya. Meskipun saya Jawa yang berlidah gemar makanan manis, cocoklah dengan rasa cukonya yang bikin lidah berdendang. Pedasnya masih bisa ditolerir walaupun kadang kalau berlebihan saya jatuh mencret yang berakibat saya menelan pil penahan laju berak berbutir butir. Tak masalah karena menyukai sensasi pempek Palembang. Kami mencintai dan menahbiskan pempek sebagai menu terenak di dunia.

***

Kali ini kami membahas tekwan. Kami sepakat jika tekwan ialah makanan tersendiri yang ganjil dan tak bisa disamakan dengan serumpunnya pempek. Tekwan bisa diartikan Malaysia, pempek Indonesia. Anggapan kami, tekwan produk gagal orang Palembang yang tidak jelas apakah soto atau bakso. Penampilannya tidak sedap dipandang dari sudut pandang kami.

Ling Ling yang Tionghoa berkata: 'Tekwan makanan rasis?!'

'Kok bisa?' tanya saya.

'Karena ia diperuntukkan bagi lelaki saja ....'

Ling Ling punya trauma mendalam ketika Kerusuhan Mei 1998 dengan seluruh keluarganya habis dibunuh orang orang tak jelas. Kami terus membangkitkan semangatnya agar bangkit dan menatap tantangan hidup. Dan bersama kami "Pecinta Mati Pempek" ia merasa terayomi meski kami berbeda latar belakang kultur.

'Kalau cewek boleh makan, harusnya ada varietas tekwan yaitu TEKWATI!' gurau Ling Ling.

Tawa kami meledak di antara sunyi para pelanggan lain yang serius menikmati pempek. Obrolan kami terus berlangsung, ngalor ngidul, dan membahas segala hal penting.

Tidak ada komentar