Header Ads

Sepasang Kaus Kaki Hitam dari Kakek Sinterklas


Kegiatan berberes rumahku terhenti. Sapu kusandarkan di dinding, kukucek mataku mendapati di perapian rumahku ada bingkisan. Biarpun orang desa, ayahku punya pemikiran megapolitan. Rumah kecil kami ada perapian. Alias pawon aka dapur. Kubungkukkan badanku dan kusambut bingkisan berwarna merah itu.

Dear Danie-Indonesia

'Aku?' sontakku dalam hati s

ambil kutepuk tepuk bokongku sebagai pancingan otakku biar panas. Kebiasaan aneh warisan leluhur yang musti diuri uri dan dijaga keberadaannya.

Bingkisan berupa amplop itu kubalik, tertera nama Sinterklas dari Kutub Utara.

Kulempar seketika. Ia Nasrani. Jijik aku mendapat kado dari orang beragama lain. Tidak hanya orang Kristen, semua di luar keyakinanku adalah najis.

Perapian dan bingkisan seolah menyatu memusuhiku. Kutatap mereka berubah tak bersahabat. Memang ini cuma perasaanku, namun benar mereka berdua menantangku. Hitam jelaga perapian dan merah menyalanya amplop menyerang mataku. Dua kakiku melunglai. Tubuhku jatuh ke lantai berplester.

Kurenungi cepat cepat. Tersadar jika aku belum tahu apa isi bingkisan itu, tapi prasangka menguasai diriku. Kalau isinya bom atau daging babi, bisa dimaklumi aku membenci orang non Islam. Kalau emas? Taruhlah Indomie? Pasti, hatiku buyar.

'Oke, kubuka!'

Kupungut lagi bingkisan itu. Dan sepasang kaus kaki hitam. Aku memang butuh buat Pramukaku tiap Jumat. Sinterklas baik ha ... Tidak! Nasrani tetap musuhku!

_____
Sumber gambar: redcode.nl

Tidak ada komentar