Header Ads

Semangatku bukan untuk Berkongres Sumpah Pemuda, tapi untuk Audisi Sinetron

    "Bebaskan dirimu, Nak!"
Ucap sang guru.  
    Mataku terbelalak. Masih ada yang peduli. Di tengah keheningan, di dalam ketersiksaan. Aku bangun dari mimpi burukku, ada yang melihat karyaku. Menghargai perjuanganku, menaklukkan dunia.  
    Masih ada harapan. Hapus kenangan baik di masa lampau. Kubuka buku baru yang belum terisi. Buku lama kubuang agar aku tak terbebani oleh hasil kerjaku yang gemilang. Aku menjadi insan baru.  
        Betapa melelahkan jika di atas, ketenaran. Perlu napas sambungan agar semangat terus meletup-letup. Agar emosi tetap tertahan, hanya dilampiaskan melalui tulisan. Sungguh berat dan aku baru menyadarinya sekarang. Menjadi tenar adalah impian, godaan, dan berbalik lagi-berputar lagi.  
    "Jangan kau merasa terkungkung. Lepaskan semua idemu!" teriak teman lain.  
Aku ternyata butuh penghargaan. Naif jika aku menolaknya. Seorang seniman harus menerima apresiasi sesuai dengan hasil kerjanya, karya besarnya yang disodor-sodorkan. Mulai saat ini aku mengurangi takaran idealismeku untuk lebih realistis menyikapi seni.  
    Aku mengatakan 'seni membunuhku', sepenuhnya tidak benar. Seni membuatku tertantang untuk mencari tahu seberapa jauh kekuatanku. Dengan keindahan sebuah karya yang kuimpikan, hidupku lebih terasa garang. Ingin mencapai sesuatu yang membuat bangga.  
        Tapi godaan itu betul-betul melenakan. Pujian, ah mengapa aku selalu terbebani dengan keadaan ini. Bukankah tugas seniman hanyalah menghasilkan karya? Jika sudah dilepas dari tangannya, maka ia akan menjadi milik orang lain, penikmat seni. Tak ada alasan untuk takut, biarkanlah insan lain memuji, mengutuk, dan aneka komentar, seniman mempersembahkan hal baru lain.  
    "Jaga kondisi tubuhmu. Gerakkan badanmu, berilah ia kesempatan juga untuk menikmati keindahan bernama kesehatan." Alangkah temanku yang lain ini sangat baik. Aku yakin hatinya menawan, berkilat seperti permata. Ah, aku terlalu romantis.  
    Saatnya mengolah berbagai rasa. Itu lebih baik daripada hanya memikirkan aneka komentar orang lain.  
    "Tunjukkan karyamu!"
    "Terus semangat. Cita-cita masih jauh, kejar terus. Biarkan imajinasimu berkembang, jangan mau dihambat oleh orang lain. Dan berbaik hatilah dengan waktu. Bersabar."
    Aku belajar jika hidup itu sebuah penantian yang disejajari dengan perjuangan tanpa lelah.  
    "Kerja keras, kerja cerdas." penggemar satu berucap.
    penggemar pertama merengek-rengek.  
    Aku harus memilih yang mana?
    Biarkan kami menikmati percintaan yang ganjil ini.  
Andai aku mempunyai dua hati, aku bagi rata. Atau jika nanti banyak yang membutuhkan, akan kuiris sama rata. Kumasukkan wajan penggorengan yang minyak gorengnya tidak hitam. Telah disaring 100 kali sampai tak ada gizi yang terkandung di dalamnya.  
    Kembali semangat, menceritakan kesenangan pula. Jangan yang sedih-sedih terus-terusan. Hidup indah. 

Tidak ada komentar