Header Ads

In Love with a Servant

    Mencari baju di lemari. Penuh sesak dengan baju dan celana yang tak pernah diseterika. Tak sampai menguarkan bau apak, karena aku menyebar kapur barus di dalamnya. Namun pemandangan ini sungguh tak enak dipandang. Aku butuh pembantu yang mau mengurusi lemari pakaianku.

Mataku beralih ke pakaian yang bergelantungan di belakang pintu. Baju tidur, celana panjang, dan sebuah jaket manis walaupun sudah beringsut tua. Semua kotor dan telah kupakai tiga atau empat kali. Alasanku, sih, untuk menghemat sabun deterjen. Maklum lah, uang tidak sederas air terjun Grojogan Sewu, air terjun seribu, di Karanganyar. Selain itu, aku berpikir kalau menggantung baju di belakang pintu, maka akan menambah kualitas kamar dengan keindahannya.

Ember merah berada di sudut kamar. Berisi pakaian kotor yang sudah menggunung. Uh, bosan aku melihatnya! Sementara aku sendiri malas untuk mengurusnya. Sekali lagi aku berteriak, “Give me a servant to clean my clothes!”

Seprai sekarang menjadi pusat perhatianku. Waduh, warnanya sudah menjadi coklat dan penuh dengan pulau-pulau yang entah dari mana asalnya. Bisa dari tetesan embus, air kopi yang tumpah saat aku membaca, atau bisa jadi dari ….
Sekali lagi aku merengek, “Pembantu kau adalah impianku sekarang!”

Debu bertebaran bagaikan bintang yang menghiasi angkasa.
Jika bintang akan berkelap-kelip, maka debu ini menjadi penari penghibur hatiku.
Aku mulai akrab dengan kekotoran ini, bersama hari-hariku yang kadang menyebalkan, dan melintasi waktu dengan terpaksa.
Ah sudahlah, tak ada yang memedulikanku. Tak ada seorang pembantu yang mampu mendengarkanku. Dengan kecerewetanku, “Bi, sana, Bi!”, “Mbok, bersihkan itu, Mbok”, atau segenap ketololan yang aku ucapkan.

Bisa jadi semua pembantu, yang pernah kerja di rumahku, memutuskan keluar karena aku terlalu cerewet.
Si Ina, keluar karena merasa aku arogan.
Si Inem, bilang rehat seminggu tapi tak kembali, pernah bilang kalau dia naksir sama aku tapi tak aku tanggapi.
Si Juwita, mengejar-ngejar aku hingga aku mengusirnya. Kusepak pantatnya!
Si Jarwo, ssst …. No comment for that.

Ternyata punya pembantu tidak mudah seperti yang kita perkirakan. Ada beberapa pengalaman yang bisa kupetik dari interaksi bersama mereka.
- Kasih hati namun harus tegas. Jangan biasakan mereka dengan mimpi-mimpi, tunjukkan kalau mereka salah adalah salah, benar berarti benar.

-Berlakulah adil terhadap mereka. Toh mereka juga manusia biasa. Jika salah maka kita arahkan, namun kalau kita yang salah maka kita harus mengakuinya. Jangan main sundut rokok, seterika badan mereka, atau membunuh? Benar-benar mengerikan.

-Sekali-kali perlakukan dia menjadi raja. Suruh mereka berwisata, kasih sedikit uang saku. Biarkan mereka berkeliaran dan melepas penat.

-Kalau Anda punya uang lebih, bolehlah memasukkan mereka ke kursus ketrampilan; menjahit biar setelah memutuskan keluar nantinya maka dia akan memiliki lahan baru bagi kehidupan mereka. Atau kursus bahasa Inggris, biar mereka menjadi TKI teladan di Malaysia. Jadi tidak menjadi bulan-bulanan para cukong tak tahu adab.

Mungkin itu dulu pengalaman saya bergulat dengan pembantu rumah tangga . Dan penting untuk diingat bahwa ”Mereka manusia, walau berpendidikan rendah dari kita, namun mereka mempunyai potensi. Berikan sedikit harapan, agar mereka naik ke jenjang hidup di kemudian hari. Tak ada ruginya menjadikan mereka lebih pandai. Lebih pandai.”

Aku kirim sebagai rasa simpatiku kepada para pembantu di Rindunesia.

Tidak ada komentar