Header Ads

Mencaci Ayah, Berharap Surga

Memaksa ayah yang renta mengikuti jalan pemikiranku. Otaknya yang lambat kupacu agar sejalan dengan ambisiku. Mencambuk seluruh anggota tubuhnya agar kencang bersanding dengan lariku. Berharap ide ide yang tak pernah diungkapkan oleh dirinya, hanya untuk memuaskan berahiku. Terulang kembali, aku melakukan penistaan akan peran ayah. Yang seharusnya kuhargai di saat tuanya.

Tak bisa dipungkiri, aku tengah mengalami goncangan mental yang hebat. Berkali kali aku terantuk permasalahan yang tak kunjung mereda. Kadang aku berpikir, sungguh tega Tuhan mengujiku terus menerus. Hidup di negeri seberang menuntut hati yang tebal dan tak boleh lekas tersulut emosi. Namun kenyataan hidup kadang membuatku kesal. Kesal karena impian impian belum tercapai. Tapi bukankah Tuhan akan menguji kepada ia yang berani menerbitkan cita cita? Seberapa besar tekad dan kekuatan mentalku dapat diuji. Jika aku berhasil, manis serta merta kudapat.

Kini aku kembali ke tempat lahirku. Bertemu ayah ibu yang lama kutinggalkan. Lama hingga detail detail kehidupan keluarga tak cermat di hadapanku lagi. Nafsu kotorku melonjak, ingin kuprotes mengapa selama aku merantau tak ada perbaikan di rumah kami. Kecewa kenapa mereka yang memiliki anak sepandai diriku namun keluarga kacau ekonomi. Apakah kabar yang sering kukirim tak mampu menaikkan semangat ayah ibu dan adik adik? Ah, sungguh menyebalkan.

Tak kuat melihat ketaksempurnaan, aku caci ayah yang kuanggap tak mampu membawa keluarga ke kejayaan yang kuharapkan. Segala kata akademis berbusa di mulutku. Ayah hanya bisa mendengar kalimat bertuahku. Puas mencerca, aku berpikir 'sudahkah aku menjadi Malin Kundang?'. Harusnya aku menerima kenyataan, membicarakannya dengan santun, dan tak boleh merasa menang sendiri. Kehidupan bukan buku pelajaran.

Pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan.

Tidak ada komentar