MET ULTAH, ARSYA!
'Mana kado buatku, Paman?' tanya Arsya lewat whatsapp milik ayahnya.
Baru saya sadar jika saya lupa 10 September ialah hari milad ponakan saya, anak adik saya. Arsya namanya. Perawakannya kecil menurun dari ibunya, tidak seperti ayahnya yang bongsor bukan kepalang karena suka makan di tengah malam. Bocah kecil ini yang selalu menyemangati saya ketika saya belum memutuskan menikah. Ia mendoakan saya begini:
'Mobil paman nanti warnanya merah!'
Pun, ia selalu mengajak saya bermain badminton, bersepeda mengelilingi sawah di belakang rumah eyangnya, atau bercanda ria seolah ia adalah anak saya sendiri. Saya cocok dengannya, dia mengerti saya seakan menghibur masa masa lajang saya saat berada di rumah eyangnya yaitu ibu dan bapak saya.
***
Sebulan lalu, Arsya mengunjungi pamannya ini, yaitu saya, menyaksikan momen bahagia pernikahan saya. Ia bersemangat naik kereta dari kampung halaman dan sampai Kota Tasikmalaya dengan jaket bertudungnya dengan langkah kecil kecilnya yang mantap.
'Halo, Arsya!' sapa saya sembari mengulurkan tangan padanya. Ia menyambut dengan senyumnya yang sama dengan ibunya.
'Kampus paman di mana?' tanyanya.
Sebetulnya, sebutan "paman" tidak benar secara kaidah urutan keluarga. Namun, saya menganggapnya sebutan seksi yang memudakan diri saya. "Pakde" berkesan tua dan sakit sakitan. Saya menyuruh semua ponakan menyebut saya dengan "paman".
'Nanti kalau sudah istirahat di hotel, sudah maem, kita jalan jalan keliling kampus, ya!' kata saya sambil menggandengnya erat erat.
Benar, ia terus merengek untuk segera tahu kampus pamannya. Mandi cepat, berganti pakaian rapi yang telah ibunya siapkan dari rumah, Arsya percaya diri menagih janji saya. Saya belum siap, belum menyemprotkan parfum ke sekujur tubuh saya.
'Bentar, bentar, Sya!' ucap saya kikuk. 'Kita berangkat!'
***
Sekarang, saya dan Arsya sudah tidak satu kota lagi. Kemungkinan bertemu dan bercengkerama lagi akan susah kami dapat. Pamannya ini telah menetapkan diri di Kota Tasikmalaya bersama budenya. Komunikasi lewat hape lah yang kini saya andalkan untuk terus mengecek perkembangan si calon profesor pertama di Purwodadi itu.
Foto Arsya di depan Universitas Siliwangi malam ini saya pandangi lekat lekat. Dalam batin saya, semoga Arsya segera menemui sepupunya dari kerja keras pembuahan pamannya. Selamat ulang tahun yang ke-6, Arsya. Semoga dikau tumbuh cerdas dan kelak menjadi penghuni Planet Mars yang pertama. Amin.
Baru saya sadar jika saya lupa 10 September ialah hari milad ponakan saya, anak adik saya. Arsya namanya. Perawakannya kecil menurun dari ibunya, tidak seperti ayahnya yang bongsor bukan kepalang karena suka makan di tengah malam. Bocah kecil ini yang selalu menyemangati saya ketika saya belum memutuskan menikah. Ia mendoakan saya begini:
'Mobil paman nanti warnanya merah!'
Pun, ia selalu mengajak saya bermain badminton, bersepeda mengelilingi sawah di belakang rumah eyangnya, atau bercanda ria seolah ia adalah anak saya sendiri. Saya cocok dengannya, dia mengerti saya seakan menghibur masa masa lajang saya saat berada di rumah eyangnya yaitu ibu dan bapak saya.
***
Sebulan lalu, Arsya mengunjungi pamannya ini, yaitu saya, menyaksikan momen bahagia pernikahan saya. Ia bersemangat naik kereta dari kampung halaman dan sampai Kota Tasikmalaya dengan jaket bertudungnya dengan langkah kecil kecilnya yang mantap.
'Halo, Arsya!' sapa saya sembari mengulurkan tangan padanya. Ia menyambut dengan senyumnya yang sama dengan ibunya.
'Kampus paman di mana?' tanyanya.
Sebetulnya, sebutan "paman" tidak benar secara kaidah urutan keluarga. Namun, saya menganggapnya sebutan seksi yang memudakan diri saya. "Pakde" berkesan tua dan sakit sakitan. Saya menyuruh semua ponakan menyebut saya dengan "paman".
'Nanti kalau sudah istirahat di hotel, sudah maem, kita jalan jalan keliling kampus, ya!' kata saya sambil menggandengnya erat erat.
Benar, ia terus merengek untuk segera tahu kampus pamannya. Mandi cepat, berganti pakaian rapi yang telah ibunya siapkan dari rumah, Arsya percaya diri menagih janji saya. Saya belum siap, belum menyemprotkan parfum ke sekujur tubuh saya.
'Bentar, bentar, Sya!' ucap saya kikuk. 'Kita berangkat!'
***
Sekarang, saya dan Arsya sudah tidak satu kota lagi. Kemungkinan bertemu dan bercengkerama lagi akan susah kami dapat. Pamannya ini telah menetapkan diri di Kota Tasikmalaya bersama budenya. Komunikasi lewat hape lah yang kini saya andalkan untuk terus mengecek perkembangan si calon profesor pertama di Purwodadi itu.
Foto Arsya di depan Universitas Siliwangi malam ini saya pandangi lekat lekat. Dalam batin saya, semoga Arsya segera menemui sepupunya dari kerja keras pembuahan pamannya. Selamat ulang tahun yang ke-6, Arsya. Semoga dikau tumbuh cerdas dan kelak menjadi penghuni Planet Mars yang pertama. Amin.
Post a Comment