KENAPA URANG SUNDA ITU MATRE?

Satu pernyataan paling membelenggu pikiran dan hati saya yang temurun berkembang: 'Hati hati, cewek Sunda matre!'

Entah siapa yang mengembuskan kalimat minor itu hingga anak cucu Jawa seolah menempelkan gelar pada mojang pun jajaka Sunda hijau mata mereka kalau lihat duit. Jahat sekali, ya? Berbekal warisan negatif itu, saya penasaran kenapa bisa urang Sunda dikatakan matrealistis.

Masuk ke tanah orang, menjejakkan kaki dengan ucapan bismillah, saya menetralkan diri saya untuk tidak berpikir jelek apapun tentang urang Tasikmalaya. Semua orang sama. Di sisi sini baik, sana kurang. Itu fitrah. Nah, tak adil dong kalau saya akan menetap di tanah ini berbekal pikiran jahat. Mending saya balik kampung!

'Merantau ialah kesempatan saya untuk mengenal budaya berbeda dari Jawa.' batin saya di antara dengung loko kereta api yang meninggalkan stasiun Tasikmalaya menuju Bandung.

'Tentunya mencari jodoh urang Tasik!' imbuh saya.

Masuklah saya ke komunitas sosial yang seluruhnya orang Sunda Tasikmalaya. Iseng iseng mengisi waktu usai mengajar di kampus. Masa saya terus terusan berkutat dengan angka? Sosial harus!

Urang Tasik ramah, kesan pertama yang saya tangkap. Mereka bersahabat dengan solid dalam satu komunitas itu. Paling terasa yakni mereka suka bercanda lewat banyolan khas Sunda. Meski saya menerka nerka apa isi guyonan mereka, kosakata Sunda saya masih terbatas, saya tahu mereka suka tertawa renyah bahkan keras keras.

Apalagi dari mereka? Coba telisik lagi, Danie!

Hmmm, BINGO. Ternyata, ini yang menyebabkan kenapa urang Sunda dapat julukan matre. Dari penampilan, mereka memang kece. Baju yang mereka kenakan memang modis dan tampak mewah. Berbeda dengan kebiasaan orang Jawa yang memakai baju sekenanya asal anak anaknya bisa sekolah tinggi. Urang Sunda tidak begitu.

'Alloh menyukai kebersihan. Kami berpakaian begini karena mengharap rida Alloh dari berbusana baik, rapih, dan enak di mata.' jelas salah satu anggota komunitas.

Logis juga, sih. Berbaju bagus menunjukkan identitas diri. Kita bisa dihargai orang lain salah satunya dari berbusana yang rapih. Inikah yang jadi ukuran urang Sunda matre?

Atau, apakah dari kegemaran makan yang banyak macamnya? Patut kita sadari jika kebiasaan urang Sunda memang makan. Kalau di Jawa makanan cuma tempe tahu, tidak dengan di sini. Banyak ragam dan tak lupa lalapan khas tanah Priangan. Mereka berdalih dengan makan kumpul bareng keluarga akan mengikat tali kebersamaan. Sama dengan falsafah Jawa 'makan tidak makan asal kumpul' bukan?

'Terpenting dari semua itu, kami urang Sunda tak pernah berpikir macam macam ke orang Jawa. Kami mengakui orang Jawa pekerja keras dan disiplin. Selebihnya, Alloh yang menilai.' ucap teman baru saya tanpa bernada marah.

Benar, semua tergantung sudut pandang kita. Kalau belum berada di lingkungan Sunda, kesan negatif akan terus menghantui dan berubah jadi prasangka. Padahal itu tidak benar.

'Ini akal akalan dulu antar kerajaan mengadu domba rakyat masing masing!' dengus saya dalam hati. 'Penting, saya dapat Mojang Tasik yang salehah. Amin!'