Header Ads

LAYANG LAYANG


Tiap musim layang layang tiba, angin berlimpah ruah sampai merindingkan bulu bulu tangan, hati saya teriris. Tak pernah saya merasai seperti bocah sekarang yang berjalan menuju tanah lapang atau sawah sambil mengendong layang layang mereka. Mereka tertawa tawa riang, saling sesumbar jika layang layang mereka paling hebat. Sekarang, saya hentikan Vario saya di belakang dua bocah yang akan mengadu layangan mereka. Tegun saya mengamati sembari memori saya membuka.

'Main layangan bikin kulitmu hitam! Belajar saja di rumah! Ibu saya menyuruh.

Bapak saya tak mau membuatkan saya layang layang seperti sebaya saya. Ia sibuk melayani pembeli di warung kami. Memang, bapak menjual layang layang dengan benangnya yang warna warni. Saya tak butuh itu. Penginnya, bapak membikin layang layang dengan tangannya sendiri untuk anak lanangnya. Saya.

'Ambil satu, Dan!' Bapak berkata. 'Kamu kalau mau main ya main saja. Ibu kalau marah, nanti bapak bilang kalau marah cepat tua.'

Bapak tak mengerti saya. Tiap bapak teman teman saya buat layang layang, saya mendekatinya dan mengamati tangan tangannya yang sigap menyerut bambu dan menimbang benang layang layang. Pikir saya, kapan bapak punya waktu buat saya.

***

Mungkin, lama lama ibu iba melihat saya tenggelam oleh buku buku pelajaran, duduk belajar di lantai dengan meja sejajar mata saya yang berkacamata. Ibu beralih pikiran dan meminta saya sekali sekali turun ke lapangan main layang layang. Sudah terlanjur sebaya saya tak mempercayai saya. Mereka akan menyingkir seolah saya makhluk gaib yang tak pantas mereka temani.

'Saya belajar saja di rumah, Bu!' ucap saya sambil meneruskan latihan soal matematika yang tinggal sedikit lagi menemukan pemecahannya.

'Kamu butuh olahraga juga.' Ibu saya merajuk.

'Sehat kok saya, Bu.'

'Ya wis. Ya sudah. Kalau pengin apa apa, bilang ke ibu, ya!'

Saya mengangguk tapi batin saya kesakitan. Tubuh saya seakan sudah di lapangan namun nurani saya telah membentuk semacam kerangkeng agar saya tak mendapat perkataan menyakitkan dari sebaya saya.

"Kalau mereka mengolok olok kamu, siap siap mereka kena karma!" batin saya marah.

***

Lamunan saya di atas Vario buyar ketika dua bocah pembawa layang layang di depan saya semakin maju meninggalkan saya. Pengin saya mengegas motor menyabangi mereka, namun takut mereka lari terbirit birit dan meneriaki saya seorang pedhophil. Warga akan menghajar saya sampai babak belur.

'Kamu pengin apa sama mereka?' tanya saya pada diri sendiri.

'Cuma mau tanya siapa yang bikin layang layang mereka, kok!' jawab saya tegas.

'Lalu? Kau mau pesan ke bapak mereka dan suatu waktu ikut mereka tarung layang layang?'

'Kau malah kasih ide brilian. Begitu juga boleh.'

'Atau ....'

'Atau apa?'

Kami hening di tengah saruk kaki dua bocah yang makin menjauh. Angin semakin banyak mendatangi wajah kami. Rasanya, angin akan menerbangkan layang layang tinggi ke angkasa biru. Menarilah mereka di langit.

'Hei, kenapa diam? Ingat bapak di rumah?' tanya saya pada saya yang mata saya mulai berkaca kaca.

'Iya.' balas saya.

'Ayo kita dekati dua bocah itu! Kita ajak adu layangan!'

'Hayuk!'



Tidak ada komentar