Header Ads

BAYI BAYI KERETA

Ejekan untuk anak anak yang terlahir di rumah dekat stasiun ialah bayi kereta. Kami langsung terbahak ketika salah satu dari kami, perkumpulan anak anak dari orang tua berumah sewa tanah KAI, menjelaskan detail apa itu bayi kereta.

'Ibu bapak kita orang cerdik. Tulen cerdasnya.' Joni berucap. 'Gimana tidak, rumah petak sempit dengan penghuninya banyak, bisa saja orang tua kita itu memanfaatkan kesempitan. Mereka bikin kita waktu kereta melintas!'

'Semenit saja, dong!' balas Rizki yang berbodi tambun berwajah jerawatan karena suka makan telur sehari setengah kilo.

Belum lagi kita bercerita kalau orang orang yang hidup di bantaran rel kereta api tak ubahnya selalu dalam teror. Sewaktu waktu, kalau penjaga lintasan sepur lalai akibat mengantuk, motor atau mobil tertabrak kereta. Imbasnya, kami selalu ketar ketir takut kecelakaan menimpa kami dengan kendaraan nahas itu menerjang salah satu rumah kami.

'Tapi ada hikmahnya kita sebagai bayi kereta.' kata saya.

'Mulai deh, Danie. Obrolan akan jadi muter muter khas profesor sedeng!' Joni merespon saya dalam pandangannya yang tak ingin saya mengungkapkan ide. Rizki menyuruh saya melanjutkan bicara saya.

'Kita bisa belajar dari rel yang lurus. Itulah jalan hidup kita. Kereta ya diri kita. Biar enak menjalani hidup, bantalan, batuan, tanah penyangganya harus kuat!' jelas saya.

Semua memegang kepala waktu saya menjelaskan filosofi sederhana itu. Senyum saya sunggingkan karena saya juga asal saja meluncurkan pendapat. Karakter saya selalu mudah teman teman baca sebagai si pembikin kepala pecah.

'Lalu stasiun itu apa, Danie?' tanya Ajeng si anak tukang asong kereta. Bapak dan ibunya sudah berhenti berdagang di atas sepur karena pemerintah sudah melarangnya. Sekarang, mereka jadi buruh pabrik tahu.

'Stasiun ya tempat nunggu kereta datang!' jawab saya.

'Dasar ....' Ajeng menimpali.

***

Obrolan semakin jauh kalau Geng Bayi Kereta kumpul. Bahasan kami pula menyentuh pelayanan kereta api yang sekarang sudah membaik. Namun, keluhan juga tertuju pada negara yang mulai mematikan orang orang kecil dan pemilik modal menjejali stasiun dengan dagangan mereka. Kami bayi kereta dan orang tua kami hanya bisa menatap dengan gelisah. Tak ada lagi pemasukan besar seperti dahulu stasiun belum bertembok beton tebal.

'Kita demo saja, yuk!' Joni berusul.

'Buat apa? Biar bayi kereta, kita ini, bisa jualan di atas kereta kaya ibu bapak kita dulu?' Rizki berkata.

Mata kita saling beradu. Tak ada pembicaraan lanjutan karena hujan mulai turun yang memaksa kami balik rumah masing masing. Ada yang mau angkat jemuran, khawatir rumah bocor, atau saya yang mau makan bareng pacar. Kami berjanji minggu depan bertemu lagi di tempat yang sama. Di pojokan rada jauh dari stasiun yang megah, di sini ada Nek Iyem yang masih berjualan minuman sekenanya, kami akan bersua lagi. Geng Bayi Kereta bagaimanapun harus tetap eksis.

***

Tidak ada komentar