Header Ads

THOMAS dalam KENANGAN

Thomas selalu membuntuti langkah saya yang menenteng tas keresek hitam sepulang belanja di pasar. Ia tahu dari penciumannya yang tajam, saya membelikannya paket ikan untuknya. Masih saya ingat tubuh kucing berbulu emas itu menggesek gesek kaki saya. Saya selalu memeringatkan dirinya untuk bersabar dan memberi waktu saya menggoreng ikan itu dan mencampurnya dengan nasi biar Thomas kenyang.

'Kamu tunggu di teras rumah, Thom!' seru saya dibarengai Thomas berlari ke luar rumah. Ia tahu saya akan marah kalau perintah saya tak diindahkannya.

Saya mengenal Thomas di sore hari yang mendung. Rumah sepi ketika isinya pergi jalan jalan kecuali saya. Seekor kucing berbulu emas mendekati saya yang tengah tiduran sembari membaca buku. Thomas duduk di samping saya yang kaget tahu dirinya hadir.

'Siapa kau?!' teriak saya. Thomas mengubah posisi duduknya hingga dua kaki depannya di depan mukanya. Dua kakinya berdarah.

'Kau terluka habis berantem ngerebutin cewek, ya?' tanya saya sambil bangkit mengambil kain bersih, kapas, obat merah, dan perlengkapan lain untuk menyembuhkan kucing malang sekaligus nakal karena bertengkar karena perempuan.

'Sini kakimu!' suruh saya. Thomas manut dan tak berteriak saat alkohol membersihkan lukanya.

Sejak itu, Thomas akrab dengan saya. Tiap saya berangkat sekolah, ia ikut mengantar saya di daun pintu dalam pandangan tak rela. Sepulang sekolah, Thomas menyambut saya gembira, melonjak lonjak, dan pura pura main apa saja yang bisa ia giring. Sayang, orang rumah tak menyukai Thomas. Mereka terlalu sibuk dengan kegiatan yang menguras waktu mereka.

***

Ketakpedulian keluarga pada Thomas perlahan pupus saat kucing itu mengetahui ayah sedang tak sadarkan diri akibat jantungan di kamar mandi. Thomas meronta ronta dalam raungannya, mencakar cakar sofa, ketika saya dan ibu berada di ruang tamu. Pun, kami menghambur mengikuti lari Thomas ke kamar mandi mendapati ayah kritis. Andai terlambat membawanya ke rumah sakit, ayah meregang nyawanya.

***

Nama yang saya berikan pada Thomas berasal dari guru bahasa Inggris saya yang mengecewakan saya. Ia tak mampu membuat saya suka dengan materi yang disampaikannya hingga saya menguap nguap sepanjang pelajaran. Pernah saya diusir Pak Thomas karena tak memperhatikannya. Bagaimana saya bisa fokus kalau pelajarannya membosankan!

Saya pun tak menyukai bahasa Inggris sampai tes tes kerja mengandaskan saya akibat kemampuan saya rendah. Tak mau terus terpuruk, saya ambil kursus percakapan Inggris. Gurunya punya nama sama Thomas. Gusti, ada rencana apa kok bisa saya selalu bertemu nama yang sama!

Tuhan seolah memberi jawaban atas keluh kesah saya. Thomas yang membuat saya alergi bahasa Inggris, Thomas juga yang membikin saya tahu titik menarik mana saja dari bahasa Ratu Elizabeth II itu berada. Pun, saya menyematkan nama Thomas ke kucing kesayangan keluarga kami.

***

Kucing juga manusia, batin saya. Thomas kembali takluk oleh masalah cewek. Tetangga memberi tahu jika Thomas mati terlindas mobil pada subuh hari. Biasanya, Thomas selalu tidur di bawah ranjang saya dan membangunkan saya saat azan subuh. Saya bablas tidur sampai matahari naik dan tetangga tergopoh gopoh ke rumah.

'Thomas mati karena putus dari ceweknya!' seru seorang ibu yang menenteng keresek hitam di dalamnya jasad Thomas. 'Dia bunuh diri!'

Keresek hitam itu mengingatkan saya ketika Thomas melonjak lonjak oleh bau amis ikan. Eongannya masih melengking jelas dan menempel di gendang telinga saya. Kini, binatang kesayangan saya dan keluarga itu mati oleh cinta. Ia memilih mengakhiri hidupnya ketimbang bercerita pada saya. Air mata saya tumpah.

Tuhan berpesan pada manusia jika tak akan menerima amalan orang yang bunuh diri. Apakah itu berlaku untuk Thomas saya, Tuhan? Tolong ampuni kucing saya.

***



Tidak ada komentar