Header Ads

LENGKO


Kalau di Jawa, lengko ialah nasi dengan bumbu kacang plus tahu, tempe, dan taoge. Tak lupa krupuk menyemai di atasnya. Mirip nasi tahu campur. Namun, Tasik punya cerita lain dengan lengko. Di sini, lengko ialah lontong kari.

Pamor lengko belum memikat hati saya ketimbang nasi tuug oncom. Baru saya sadari jika saya telah salah tak memedulikan lengko. Baru ada pendaratan saya via kereta dari Jogja sampai Tasik pada 4 Mei 2015, teman saya mengajak melengko.

Waktu itu saya menunggu lama jemputan teman saya di stasiun. Subuh sudah mau berlalu, teman saya sepertinya masih tidur di rumahnya. Saya telepon dia baru sambungan keempat baru dirinya bangun. Suara kuap menempel di telinga saya dari ujung telponnya.

'Sebentar saya salat subuh, Mas. Sepuluh menit lagi sampai situ!' ucapnya.

Saya jadi tenang karena teman saya sudah balik nyawanya. Berkali kali para bapak ojek menawari jasa antar mereka dalam bahasa sunda halus. Jawaban saya sama kalau sudah ada jemputan dengan bahasa sunda sekadarnya. Tak lupa saya mengulas senyum tulus karena saya sadar ini tanah orang.

Udara pagi Tasik sejuk dan segar. Saya menghirup dalam dalam sembari berdoa semoga karir mengajar dan asmara saya berkembang di sini. Bisa jadi profesor dan sebelumnya menikah dengan satu neng geulis di sini.

Teman saya belum sampai. Saya ke luar sebentar dari stasiun dan menggeliatkan tubuh biar lebih enak setelah perjalan enam jam naik kereta. Oleh oleh berupa gudeg dan bakpia untuk prodi, teman saya, dan sahabat, saya tinggalkan saja di atas bangku tunggu stasiun. Pun kalau ada yang mengambilnya, saya ikhlas saja.

Pim, pim ....

Klakson motor teman saya meraung. Saya kembali mengambil oleh oleh dan tas meninggalkan stasiun. Amit amit, parfum teman saya menusuk hidung. Bau wanginya wah .... Nggak tahu kenapa dia sepagi ini seolah sebotol parfumnya ia tumpahkan ke tubuhnya. Okelah, saya pikir ia memberi terapi aroma bagi saya agar trainlag saya teratasi.

'Mau ke mana nih, Mas?' tanya teman saya.

'Sarapan dulu, yuk. Bubur ayam.' jawab saya.

'Gimana kalau lengko?'

Saya mengernyitkan dahi sambil membenarkan kardus oleh oleh di pangkuan saya. Teman saya memindahkannya ke depan.

'Oke, boleh kita coba!' saya menjawab.

Motor menderu menuju pasar Pancasila. Awalnya mau cari lengko di depan Bank Mandiri dekat Alun Alun Tasik, tapi tutup. Di antara keramaian para pengunjung pasar, kami menjajal lengko. Bukan kami melainkan saya. Teman saya pasti sudah ribuan kali menyantapnya karena ia asli Tasik.

Tidak ada komentar