Header Ads

HUJAN yang SAYA TAK PENGIN IA HADIR

Sebelum hujan tadi, abu abu mabur alias terbang disapu angin yang besar sekali. Saya menyangka tadi di Gurun Ghobi atau Sahara. Persis sekali meski tak ada onta yang ditunggangi para khafilah melainkan para mahasiswa yang bermasker hijau. Mereka cepat cepat memacu motor untuk sampai di kos dan keramas lanjut tidur.

Apa yang terjadi setelah abu menutupi jalanan Jogja tadi? Langit menggelap, hawa jadi dingin yang saya rasai di kulit tangan karena saya tak berjaket, dan hujan mulai hadir. Saya tidak suka! Rutuk memenuhi mulut saya, penuh rasanya tinggal saya letupkan. Tak pengin hujan hadir di Jogja yang telah seminggu ini berdebu kiriman Gunung Kelud. Kenapa saya malah berharap abu tetap ada di Jogja?

***

Cermat saya, hujan selalu bikin malas kami warga Jogja. Dengan hujan, orang orang akan berkata: 'Hore .... hujan deras! Atap, jalan, kampus, semua debu akan hilang. Kita bisa beraktivitas lagi dengan nyaman!' Begitu banyak orang bilang. Ini menunjukkan sikap pasrah, mengandalkan alam untuk membersihkan Jogja.

Berbeda ketika abu Kelud sampai di Joga tempo lalu. Memang hari pertama kami diam di rumah karena keadaan tengah menguras emosi kami. Hari kedua atau ketiga, kami mulai keluar dari sangkar, berbincang, lalu kembali ke rumah mengambil alat apa saja untuk mengeruk debu yang bercampur lempung di luar. Abu telah menyatukan hati kami, berada dalam kosmik kebersamaan. Kelud atau Merapi memaksa kami untuk bergotong royong.

Datangnya hujan siang ini membuat saya tertegun di kedai ini. Saya masuk menyelamatkan diri dari hujan yang belum pantas singgah di Jogja berbekal hanya memesan segelas teh hangat. Kami masih butuh sebulan untuk menikmati debu yang terasa benar manfaatnya bagi jiwa kami.

Hujan, segeralah Anda menghentikan aktivitas! Nanti kalau jiwa orang Jogja sudah teresapkan rasa kebersamaan, tak ada lagi alasan "Ah hujan. Malas aku bekerja!', bolehlah Anda tiap hari main di sini. Segera saya hubungi Anda, Hujan! Nomor telepon Anda?

Tidak ada komentar