Header Ads

NIKMAT TUHAN MANA yang KITA SANGSIKAN?


"Banjir tak melulu dekat dengan kesengsaraan. Jika ada seorang puteri duyung nyangkut, apakah itu tidak kita sebut anugerah?"

Sebetulnya, kita terbiasa untuk heboh. Apa apa terlalu emosional dalam menyikapi. Bensin mau naik, antre berkilo kilo sampai kasus Florence 'Sang Ratu Premium' meledak di Jogja. Terus, isu jika Kementrian Agama akan dihapus kita tanggapi dengan kelimpungan. 

'Bagaimana nasib agama agama dong! Ateis merajalela dong?! Orang pada semakin brutal!'. 

Solusi dari semua ini ialah ketenangan. Kontrol terhadap emosi mutlak kita miliki biar antara mata yang pertama menerima sensasi kehebohan, juga indera yang lain, masih bisa berkoordinasi baik dengan otak dan rasa kita. 

Kisah kombinasi berikut, gabungan kejengkelan dan ketidakwarasan, akan menunjukkan betapa setiap keburukan pasti ada kebaikan. Apalagi yang baik! Nikmat Tuhan mana yang kita sangsikan? Teruskah kita meratap ratap dan memaki maki sampai bibir dower berujung badan dan nurani kita rusak? 

Nah, ada baiknya kita cermati bareng bingkisan ini. Sudah siap mendengar apa yang hendak saya kemukakan? 

★★★

Jakarta sebentar lagi akan ditinggalkan Jokowi. Ahok siap menggantikannya. Intrik politik ini dan itu anggaplah sesuatu yang wajar. Sekali lagi, itu tidak akan memengaruhi kita. Kecil sekali persentase dampaknya pada diri kita. Hidup orang Jakarta musti terus melaju bukan? 

Selain kemacetan yang klasik, Jakarta punya PR paling hot untuk segera dituntaskan. B.a.n.j.i.r. Onta! Bukan, bukan .... Banjir yaitu air bah. Pemerintah dari zaman ke zaman bukannya diam diri. Mereka bekerja keras. Namun, banjir yang sejatinya warga Jakarta sendirilah penyebabnya, tampak dari kegemaran membuah sampah ke kali, seolah susah untuk ditaklukkan. Dan, lagi lagi akan timbul usaha tunjuk hidung kesalahan pada si Fulan, si Bejo, si anu, dan si itu. 

Tahukah kita jika banjir Jakarta punya sisi cerita lain? Banjir tidak melulu berupa kesengsaraan melainkan keberuntungan. 

Malam itu, masih saya ingat Malam Jumat Legi, setahun lalu di bulan Januari. Jakarta hujan sangat lebat. Lebih lebat ketimbang buku ketek Eva Arnaz si Bomseks 80an. Listrik padam atau sengaja diputuskan alirannya agar Presiden waktu itu tidak kesetrum. Eksodus warga yang ingin menyelamatkan diri ke barak pengungsian mencitrakan Jakarta akan segera tenggelam benar adanya. Jakarta ngeri. Tak ada penjual bakso keliling karena jelas akan kena gruduk para pengungsi yang kelaparan. 

Kilat menyambar nyambat. Angin bertiup kencang dan barang siapa di luar rumah akan tersapu dan jatuh di Jalur Gaza Palestina. Anak anak menangis kuat karena cuaca yang dingin dan banyak dari mereka yang mencret merepotkan enyak babe mereka. Tetiba, ada suara rintihan: 

Ih, hihihihi .... ih, hihihihi .... ih, hihihihi ....

Suaranya nyaring terdengar. Warga yang kelaparan menyangka itu suara azan masjid karena itu memang waktu Isya. Semkin lama rintihan itu keras dan menaikkan bulu kuduk, bulu dada, dan bulu tersembunyi lain warga. Bayi bayi makan melolong, para lelaki dewasa takut. Perempuanlah yang punya inisiatif mencari tahu sumber rintihan itu. 

'Lelaki tak tahu untung!' seru seorang wanita kekar yang seketika menggulung lengan bajunya dan memamerkan otot tangannya. 'Tak ada gunanya kalian hidup di Bumi! Ayo ibu ibu, kita cari suara hantu itu!' 

Lima ibu ibu pemberani ke luar dari barak pengungsian. Tanpa payung, tak memakai jas hujan. Mereka bak detektif cerdas yang siap menemukan jawaban semua itu. 

★★★

Syahdan, suara rintihan menyayat itu berasal dari puteri duyung yang cantik. Ia mengenakan mahkota yang sepertinya ia baru saja memenangi kontes kecantikan sejagad. Tapi, bukankah ia siluman yang tidak punya kaki melainkan buntut ikan? Tidak mungkin, batin lima ibu bermental baja yang menemukan puteri duyung itu. 

Tetiba, Jakarta berubah terang. Hujan stop sendiri yang menyisakan genangan setinggi lima jengkal orang besar. Si puteri duyung yang duduk di sebongkah batu tersenyum pada lima ibu di hadapannya. 

'Selamat siang, ibu ibu!' salam si puteri. 

Lima ibu seolah kena sihir dan menatap lekat lekat perempuan siluman di hadapannya. Tampak satu kutang warna hijau menyala nyangkut di tiang listrik di dekat mereka. 

'Kalian pikir saya Nyonya Jokowi atau Nyonya Ahok atau Nyonya Prabowo, hah?' tanya si puteri kalem. 'Perkenalkan, saya Mahadewi!' 

Lima ibu tetap dalam tatapan tak berkedip mereka. 

'Saya ke sini dalam rangka sebuah misi, ibu ibu yang saya hormati.' Si puteri batuk keras dan melepaskan dahak kental hijaunya ke air. 

'Apa itu?' tanya seorang ibu. 

'Dewa mengutus saya mampir ke sini untuk menyapa kalian para korban banjir Jakarta. Kalian butuh hiburan di tengah kegelisahan kalian. Terutama bapak bapak. Mereka pasti BT tak bekerja. Nah, saya diutus membuat kalian gembira lagi. Terutama sekali lagi para bapak bapak.' 

Si puteri duyung mengedipkan mata sebelahnya. Lima ibu mulai tersadar dan terpancing emosinya khawatir suami mereka kena sihir si puteri di depan mereka.

'Kau siluman?! Ingin rusak keluarga orang!' teriak ibu yang lain. 

Si puteri duyung tenang dan mengibaskan ekornya. 'Jangan suuzon. Berburuk sangka akan merusak jiwa kalian, ibu ibu. Dewa mengutus saya agar ....'

'Agar apa?!' seru ibu ibu bersamaan. 

'Kalian bunuh saya, makanlah daging saya. Mau digoreng, dipepes, dibakar, silakan! Anggap ini kurban sekelas Nabi Ibrahim ke anaknya Ismail. Dan kau tahu ibu ibu? Pengorbanan ini akan menghentikan banjir dari Jakarta selamanya!' 

Tak menunggu waktu, lima ibu menubruk si puteri duyung yang ikhlas menjemput ajal. Kelima ibu beringas mencabik cabik puteri duyung sebagai tumbal banjir Jakarta. Memang benar, Jakarta terbebas banjir. Semua bahagia.


Tidak ada komentar