Berpapasan dengan Bunglon dan Kaki Seribu
Mingguku mengejutkan. Seekor bunglon bertengger di batang pohon melengkung di depan kosku. Warnanya tak cokelat seperti warna batang pohon itu, melainkan hijau.
'Kayanya dia lagi malas untuk bermimikri!' seruku yang membuat si bunglon menoleh padaku. 'Selamat pagi, Bung!'
Sejurus ia menjulurkan lidahnya yang panjang menjuntai. Aku melambaikan tangan
sebagai pertanda pembuka persahabatan meski kusadar jalan menuju
tingkatan itu sangat terjal. Si bunglon menyipitkan matanya, teduh, dan
langsung menyambar hatiku untuk mendekat.
Agenda berangkat latihan triathlon--lari, renang, dan bersepeda--kutangguhkan sejenak melayani kehadiran si bunglon yang imut di hadapanku.
'Kau sudah sarapan, Bung?' tanyaku. Ia menggeleng. 'Kalau aku sudah. Selembar roti, susu Milo hangat, sudah tuntas masuk ke perutku!'
Bunglon mengubah warna tubuhnya menjadi cokelat. Ia sepertinya tersinggung oleh perkataanku. Aku peka dan memohon maaf atas perkataanku yang tidak berhati.
'Bung, ada rahasia yang pengin aku katakan padamu!' seruku sambil mencari cari apakah temanku ada yang mencuri dengar. Mereka masih tidur pulas setelah seminggu sibuk oleh tugas kantor atau kampus.
Si bunglon menelengkan kepala. Ia tampak tertarik oleh rahasia yang segera kukatakan padanya. Tapi, mendadak ada seekor kaki seribu melintas di dekat kakiku. Jongkokku berubah jadi berdiri gemetar.
'Kenapa kau tak uluk salam padaku, Kaki Seribu! Juga pada Bunglon?' protesku. Si kaki seribu berhenti. Ia memutarkan dirinya. 'Kau mau bergabung dengan kami?'
Kaki seribu makin meringkuk mantap bersama udara dingin yanag berembus menyibakkan rambutku yang tak seberapa.
'Bung,' tegurku rusuh. 'Nggak jadi aku kasih tahu rahasiaku sekarang! Besok besok saja!'
Aduh Gusti Allah, si bunglon meludah dan minggat entah ke mana. Dan si kaki seribu pun meluncur melanjutkan perjalanannya.
'Uh, dasar BINATANG! Bicara tidak, brutal iya!' desisku.
Agenda berangkat latihan triathlon--lari, renang, dan bersepeda--kutangguhkan sejenak melayani kehadiran si bunglon yang imut di hadapanku.
'Kau sudah sarapan, Bung?' tanyaku. Ia menggeleng. 'Kalau aku sudah. Selembar roti, susu Milo hangat, sudah tuntas masuk ke perutku!'
Bunglon mengubah warna tubuhnya menjadi cokelat. Ia sepertinya tersinggung oleh perkataanku. Aku peka dan memohon maaf atas perkataanku yang tidak berhati.
'Bung, ada rahasia yang pengin aku katakan padamu!' seruku sambil mencari cari apakah temanku ada yang mencuri dengar. Mereka masih tidur pulas setelah seminggu sibuk oleh tugas kantor atau kampus.
Si bunglon menelengkan kepala. Ia tampak tertarik oleh rahasia yang segera kukatakan padanya. Tapi, mendadak ada seekor kaki seribu melintas di dekat kakiku. Jongkokku berubah jadi berdiri gemetar.
'Kenapa kau tak uluk salam padaku, Kaki Seribu! Juga pada Bunglon?' protesku. Si kaki seribu berhenti. Ia memutarkan dirinya. 'Kau mau bergabung dengan kami?'
Kaki seribu makin meringkuk mantap bersama udara dingin yanag berembus menyibakkan rambutku yang tak seberapa.
'Bung,' tegurku rusuh. 'Nggak jadi aku kasih tahu rahasiaku sekarang! Besok besok saja!'
Aduh Gusti Allah, si bunglon meludah dan minggat entah ke mana. Dan si kaki seribu pun meluncur melanjutkan perjalanannya.
'Uh, dasar BINATANG! Bicara tidak, brutal iya!' desisku.
________________
sumber gambar: kfk.kompas.com
Post a Comment