Header Ads

Tarzan Saba Kota

Tarzan masuk kota. Jakarta, kota metropolitan.

Memang benar, ia bernama Tarzan. Sang Bapa memberi nama itu, berharap anaknya segagah Tarzan, memiliki anak buah banyak. Dari gajah bergading, singa bersurai emas, atau angsa dan jerapah berleher panjang. Jangan menertawakan, karena cerita ini sedang dimulai, Tarzan bukan lagi pemuda kampung, tak pula bayangan sebagai Penguasa Rimba. Ia siap siap menjadi warga Jakarta. Yang segera mengubah dirinya, pemikirannya semakin luas, pergaulan yang lincah, dan tentu gaya bicara yang sedikit diubah. Menjadi sedikit Betawi.

Jika membayangkan Tarzan bercelana pendek dari kulit macan loreng, agaknya berlebihan. Ia memakai celana jins, berkemeja licin dengan harum semerbak menguar dari tubuhnya. Tak ingin seluruh mata orang Jakarta yang multiras memelototi dirinya. Berbusana elit agaknya mencerminkan kesempurnaan, harga mati yang harus Tarzan tawarkan agar karir yang sebentar lagi ia rintis akan bersinar, melesat bak roket yang diluncurkan Iran untuk memamerkan kekuatan nuklirnya, menggertak Israel di sejarak ribuan kilometer darinya.

'Pak, Cawang di mana ya?' Tarzan bertanya kepada seorang tukang ojek. Di tempat yang ia asing, tak tahu dan belum paham jika bertanya di Jakarta bernilai dengan uang.

'Cawang?' Pak Ojek malah balik bertanya.

'Ya Pak. Cawang.'

'Untuk apa ke sana Dik?' mata tukang ojek mendelik, seakan ingin menghipnotis Tarzan di depannya. 'Mau tes kerja ya?'

Aura belagu dan sok mulai ditebarkan oleh pak Tukang Ojek.

Tunggu dulu. Bukan maksud seperti itu. Pak Tukang Ojek tengah mempraktikkan daya pikat, marketing, mengambil simpati calon mangsanya, agar bisa ngangkat setoran hari ini.

Tarzan mulai curiga. 'Ya Pak. Saya mau tes kerja. Sejam lagi tesnya.'

'Jauh Dik. Satu satunya cara, ya naik taksi. Tapi mahal.'

Pak Tukang Ojek melihat Tarzan dari ujung rambut ke sepatu. Seolah ia ingin memindai tingkat kekampungan yang masih ada di darah Tarzan.

'Naik ojek aja Dik.' Nah. Mulai menerkam.

'Ndak Pak. Saya mau naik bus saja.'

'Eh dibilang jauh jaraknya.'

'Ndakpapa, Pak. Teman saya bilang ada kok bus dari sini.' Tarzan yakin, sambil membaca SMS yang dari temannya di mana letak Cawang.

'Kalau tersesat, jangan salahkan Abang Lo Dik.'

'Ndak Pak. Saya permisi dulu.'

Pak Tukang Ojek tidak menerima ucapan permisi si Tarzan.

Pagi di Jakarta. Mobil mobil mulai beraksi. Seperti semut semut yang berbaris, bersiap menerima titah sang Ratu, 'Hari ini kau cari makan ini. Kau yang di sana ambil daun kering. Kita siapkan musim dingin. Jangan sampai kita mati di dalam tanah.' Begitu perintah yang harus dilakukan pasukan semut. Udara mulai menekan, matahari tak tampak, dan lelaki perempuan mulai mengejar bus bus, entah ke arah mana. Terlalu banyak orang. Bising dengan teriak kondektur yang melengking dan bernada Batak. Motor hanya beberapa, dan ah ... lincahnya minta ampun. Sela antar mobil, meski sempit, berhasil dimasuki. Tak ayal jika julukan raja jalanan layak buat para pengendara motor roda dua. Jam 7.15 Waktu Jakarta. Masih empat puluh lima menit lagi.

Tarzan mulai tegang. SMS dengan teman malah membuatnya bingung.  Ia menoleh ke Pak Tukang Ojek. Dibalas dengan lirikan meremehkan, 'Syukur kau, Anak Desa. Ga percaya Abang Jampang ini Lu!'

SMS: 'Kamu naik bus A, lalu pindah bus B, nanti jalan kaki sekitar 500 meter. Hati hati copet di bus banyak.'

Bus berganti bus? Agaknya untuk ukuran orang baru, pasti memusingkan. Capai perjalanan dengan kereta ekonomi semalam belum genap hilang, mandi di stasiun juga dilakoni. Sekarang, di depan stasiun ini, Tarzan mencoba mengejar waktu.

Baiklah. Diputuskan naik ojek. Kemenangan berada di pihak Tukang Ojek.

Dalam batin, Pak Tukang Ojek meneriakkan yel yel seperti para gadis cheerleaders yang menyoraki atlet basket kampus.

'Jadi naik ojekku Dik?' suara ditekan, tanda menang.

'Ya Pak. Berapa?' Tarzan bertanya. Kembali bertanya.

'Lima puluh.'

'Lima puluh apa Pak!'

'Ribu. Masa rupiah.'

'Mahal amat Pak.

'Ini Jakarta Dik. Kencing aja bayar. Jauh jarak ke Cawang Dik?'

'Kata Bapak tadi dekat?'

'Iya dekat. Sepuluh menit lalu dekat. Sekarang jauh.'

'Lah. Menitnya molor ya Pak?'

'Ya.' jawab Pak Tukang Ojek ketus. 'Gimana jadi ga, Dik?' Makin seperti penjagal bapak di hadapan Tarzan.

'Bentar Pak. Saya SMS teman.'

'Buat apa? Murah ini Bung. Kamu naik bus, belum tentu sampai ke kantormu.' jawab asal Pak Tukang Ojek. 'Mau nawar berapa?'

Tarzan masih asyik mengirim SMS ke temannya. Menanyakan berapa harga ojek dari stasiun ke Cawang.

Pak Ojek dibuat tak tenang. Ia menganggap Tarzan terlalu lambat memutuskan. 'Ini Jakarta Bung!'

Suara hape menyalak. Tubuh Pak Tukang Ojek condong, ingin membaca pesan di hape si Tarzan.

Sejurus kemudian, Tarzan melepaskan harga tawaran.

'Sepuluh ribu Pak. Boleh ya?'

'Mata Lu pecah. Stasiun ke Cawang kau nawar segitu. Naik kuda nil aja sono!' pekik Pak Tukang Ojek.

'Yah kalau ndak mau ya sudah.' Tarzan mulai mengatur strategi. Dan melihat jam tangan, membuat ia semakin panik. Tapi ia bertahan. Semoga dalam lima menit ke depan, ada kesepekatan antar mereka.

'Dua lima.' sang abang menjawab.

Nah, turun setengah harga. Kesabaran pasti mengalahkan ketergesa gesaan.

'Tambah dua ribu lima ratus ya Pak. Jadi Dua belas setengah.'

'Kadal buntung. Kau buat aku naik darah ya.' Uring uringan sendiri si Bapak.

'Tidak mau ya sudah, Pak.' Beng, beng, balas dendam si Tarzan. Jurus yang tadi dipraktikkan Pak Tukang Ojek sekarang dipraktikkan Tarzan.

'Lima belas. Dengkulmu patah. Kurang ajar.'

Tarzan mulai bersimpati.

'Ya sudah Pak. Kita berangkat sekarang.'

'Dari lima puluh jadi lima belas. Ya sudah. Buka pasaran. Besok besok, ketemu kamu lagi, nawar segitu, kupatahin lehermu.'

'Jangan gitu Pak.' bujuk Tarzan.

'Ya sudah. Kita berangkat.'

'Mana helem buat saya Pak?'

'Murah minta aman pakai helem. Sudah. Percaya saja sama Bapak. Kita masuk gang gang.'

Benar. Pak Tukang Ojek kesetanan. Naik motor seperti naik Bouraq. Kencang bukan main, tak mengindahkan rambu rambu, ibu hamil lepas dari kewaspadaan dirinya. Motor tak berspion dua, cuma satu, suara knalpot memekakkan telinga. Tapi, inilah Jakarta yang sesungguhnya. Barang siapa mengeluh, keranda jenazah siap menjadi tempat kosnya.

Tarzan sampai di kantor jam 7.55. Siap bertemu dengan HRD perusahaan impiannya. Selamat berkerja wahai Tarzan.

Tidak ada komentar