Header Ads

VERO: Sang Kaki Palsu Tatoo

Gadis itu setinggi pundak saya tak disangka berkaki palsu. Uniknya, ia menghiasnya dengan tatoo. Sekejap timbul prasangka dalam diri saya ketika berada di dekatnya. Dalam pikiran saya, perempuan ini naik motor kebut kebutan saat ia mabuk dan menabrak seorang tua renta yang bersama cucunya sedang menyeberang jalan, kakinya putus kena amputasi dokter.

'Itu buah karma kalau bikin onar!' gerutu saya dalam hati.

Di acara Puncak Hari Difabel Internasional 2013, saya mencermati perempuan yang bernama Veronika Anik Sulistyani. Ia menyisip di antara bingar kreativitas anak anak Deaf Art Community Jogja yang menampilkan kepiawaiannya berteater, hip hop, dan capoeira, Vero begitu ia akrab disapa, menjadi pusat perhatian saya dan para penonton yang sabar dan antusias menikmati acara.

'Vero lebih gila dari saya.' ucap Broto Wijayanto, sang pembina anak anak tuli DAC.

Apakah Vero pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Pakem karena tak mampu menerima kenyataan membunuh seorang nenek dan cucunya tadi? Bagaimana bisa Broto, yang saya kenal sudah bukan layaknya orang biasa karena mencurahkan hidupnya untuk anak anak tuli, berkata seperti itu?

Ternyata, perempuan itu enam tahun lalu mengidap kanker tulang hingga ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya dengan meminta kaki sebelah kanannya diamputasi oleh dokter. Ia menjelaskan jika sudah berkali kali ia masuk rumah sakit, mencoba berbagai terapi, namun hasilnya luput semua.

'Saya memutuskan mengamputasi kaki saya bukan karena saya menyerah. Tetapi hidup saya musti berlanjut ketimbang terus terusan bergulat dengan kanker.'

Mata Vero berkaca kaca dan Broto menenangkan dengan gaya humornya yang khas agar sahabat di sampingnya tegar karena ia terlalu kuat untuk sekadar menangis. Tangisan juga ekspresi dan Vero meneteskan air matanya. Tiga tahun bergulat dengan kanker, ia pun merelakan kakinya untuk tidak menempel di tubuhnya lagi.

***

Pun memiliki kaki hanya sebelah tak menyurutkan semangat Vero. Ia justru aktif bergerak dengan kaki barunya yang berukir batik. Sekarang, ia sibuk mencemplungkan diri dan timnya dalam wadah Yayasan Kasih Anak Kanker Jogja. Kegiatannya sangat padat mulai dari memberi pendampingan untuk anak anak kanker di bangsal Rumah Sakit Sardjito, melakukan aksi donasi untuk membantu pengobatan mereka, bahkan mengumpulkan mainan yang sudah tak dipakai si empunya untuk diberikan pada para bocah penderita kanker.  Mungkin nilai boneka bekas untuk kita tidak berarti apa apa, namun di mata para bocah yang sorot matanya tulus di rumah sakit kanker sangat bermakna.

'Vero menabrak keengganan orang biasa untuk sekadar peduli dengan sesama.' saya berkata pada diri saya dan menyesal telah berpikir yang tidak tidak tentangnya.


Saya mendekati Vero di tengah acara setelah pemutaran filmnya "Penunggu Matahari" yang berhasil menjadi juara kedua Lomba RRI Yogyakarta. Film ini menceritakan pertemuan antara Vero dengan Fani sang penyandang tuli. Interaksi mereka berawal saat secara tidak sengaja bertemu di Kebun Binatang Gembira Loka. Vero mengambil foto binatang di situ karena salah satu anak pengidap kanker pengin tahu bagaimana bentuk kuda nil atau binatang lainnya. Fani sendiri suka fotografer. Nah, mereka pun saling bercerita tentang diri masing masing. Keren sekali dan sangat menyentuh.

***

Vero, Fani, Broto, dan seluruh relawan yang saya temui di acara Hari Difabel Internasional 2013 adalah inspirasi. Mereka menggebrak, menerobos keterbatasan, berbuah karya yang membuat orang orang di sekelilingnya berpikir kembali tentang makna kehidupan. Dan saya merombak pemikiran yang ada di otak, hati, dan tindak saya ....

Tidak ada komentar