Polisi Super Tambun & Terapi Darah Kobra
Malam musuh terkejamku. Ia penghasut ulung melambai lambaikan tangannya, mengedipkan mata kirinya, menggoyang pinggulnya mengatakan: 'Danie, ayo ke luar cari angin!'
Kalau sudah begini, badanku yang jadi taruhan. Bencana. Dietku ambyar. Biasanya si malam minta macam macam; ke Indomaret, warung burjo, angkringan, atau ke ruang kepala sekolah SMA 1 Yogyakarta. Tapi yang terakhir selalu kutolak dengan alasan selain sekolah tutup juga ia bukan diskotek.
Rengekan sang malam percis anak kecil minta cokelat sama mamanya yang sedang kere akibat kalah judi bola. Tak tahan sudah malam ini si malam memohon mohon nasi goreng plus acar. Kutampar jidatku dengan telapak tangan kananku.
'Nasgor?! Alamat tambun deh!' kataku. Tapi tetap saja ia meminta malah mengancam melaporkanku ke Kak Seto atas tindak pelecehan cuaca. Pun aku meluncur dengan motorku.
Jogja sepi. Minggu biasa jadi hari mati bagi Kota Pahlawan ini. Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, maksud pengarang. Jalan lengang. Hanya seorang ibu kuamati sekilas dalam kencangnya motorku. Wanita itu berdiri di gang. Pikiran kotorku menyebut dia germo. Tapi langsung kuhapus dengan anggapan si ibu tadi eks peragawati yang tengah survei jumlah pengendara malam hari di Jogja.
Nah, warung nasi goreng sudah di depan mata. Kuperlambat motor, kuparkir di samping warung. Bapak penjual langsung menyapaku dan sigap mengatakan nasi goreng masih tersedia. Kududuk, merapikan rambut, dan memesan bir tapi tak ada lalu kuganti air putih saja karena gratis.
Jam sebelas. Pembeli cuma aku. Kuperhatikan mi tinggal sedikit. Tak sampai sepuluh menit nasgor terhidang.
Malam pun bersorak. Ia memelukku mengucap beribu terima kasih sembari mengelus perutku yang mulai berisi karbohidrat.
'MALAM, PAK!'
Suara seru mengagetkanku membuatku tersedak. Seorang bapak besar masuk warung kaki lima ini. Ia polisi. Tapi, oh Tuhan, salahkah mata saya? Perawakan si polisi itu membikinku terpingkal dalam hati. Kucuri curi pandang, si polisi curiga kalau aku membatinnya.
Ia duduk di sampingku. Perutnya .... sebesar rice cooker. Aku jadi bertanya, bagaimana ia dulu lulus ujian postur? Mungkin juga waktu muda ia kecil, berjalannya waktu ia mengenal uang ini dan itu, meledaklah tubuhnya.
"Semoga dia herbivora." batinku. "Jangan omnivora apalagi karnivora. Bisa dilahap ini badan."
Si polisi memesan tiga menu~nasgor, magelangan, dan capcay. Aku cepat cepat menghabiskan nasgor. Anehnya, ia mengeluarkan botol bertulis 'Ramuan Kobra'. Jantungku kencang berdegup. Darahku mengalir deras.
'Pak, bungkus!' Teriak pak polisi. 'Buat anak anak jalanan makanan itu. Biar mereka doain saya kurus.'
Kutelan ludahku.
'Dik,' ia mengarah padaku. 'Hilangkan prasangka burukmu. Sayangi jiwamu. Botol ini mainan saja. Isinya beras kencur.'
_____________________
Follow my twitter @AndhyRomdani & FB: Andhy Romdani
Post a Comment