Header Ads

Memoirs of a Geisha (Rob Marshall, 2005)

Film yang malu-malu. Konflik yang kurang kuat. Tetapi, secara umum bisa dikatakan layak tonton. Menawarkan sisi pandang yang tidak populer, sang sutradara membidik Geisha dari sudut yang mencengangkan. Keidentikan geisha dengan bisnis pelacuran, sedikit banyak dicoba digeser dan menampilkan sisi sensitivitas budaya Jepang klasik tersebut.

Chiyo merupakan anak seorang nelayan. Ayah mereka terlilit utang besar. Kehidupan keluarganya semakin runyam kala ibu Chiyo sakit parah. Terpaksa Chiyo dan saudara perempuannya dijual ke saudagar di kota. Chiyo tak tahu untuk apa dia dipisahkan dari kedua orangtuanya.

Sesampai di kota, dia dipisahkan dari saudara perempuannya. Perlawanan tinggal perlawanan. Apalah daya jika tangan kecil meronta-ronta. Yang ada hanyalah besutan tangan yang menampar hati. Chiyo takluk kepada nasibnya. Bekerja di tempat ’Mama Mucikari’.

Bergulat dengan kehidupan kelas atas, sedangkan wajahnya masih berbau ikan asin, Chiyo merekam sensasi yang ditimbulkan dari keindahan semu seorang Geisha. Kebekuan hatinya dilelehkan oleh panasnya Geisha yang hidup dalam glamoritas dan bergelimpang uang. Chiyao bertekad menjadi Geisha di keesokan harinya.

’Gadis dengan mata yang menyiratkan kesejukan air’ begitulah julukan yang diberikan kepadanya. Pesonanya semakin membesar dan memikat lelaki di seluruh kota. Dia diambil dan dididik oleh mucikari lain dengan proses jual beli yang rumit. Akhirnya, Chiyo masuk ke dalam dunia Geisha.

Tak mudah memang membuat simpulan apakah geisha seorang pelacur atau seniman. Yang paling mengerti adalah orang Jepang sendiri yang mempunyai budaya tersebut. Dalam film ini, pergeseran pemikiran terhadap Geisha disebabkan oleh kekalahan Jepang saat Perang Dunia. Masuknya budaya Amerika Serikat menjadi titik jenuh bagi eksotisme Geisha. Wanita dari kalangan apapun bisa menjadi geisha asal berkimono mahal. Dan jadilan geisha diasosiakan dengan pelacur.

Keindahan latar cerita khas Jepang tidak didapat di film ini. Jepang yang eksotis tidak tergambarkan secara utuh. Hanya ditampilkan konflik para geisha, itu pun masih terlalu dangkal. Terlalu aneh memang jika film ini memborong beberapa nominasi Oscar. Agaknya terlalu berlebihan jika melihat keseluruhan cerita yang tidak terlalu spesial.

Beberapa pemeran yang berdarah Cina juga menjadi gangguan besar bagi penonton. Wajah orang China bagaimanapun berbeda dengan orang Jepang. Walaupun mata Zhang Ziyi dan Michelle Yeoh diperbesar dengan tata rias, tetap saja jauh dari karakter asli.

Cukup dua bintang bagi film ini!

Tidak ada komentar