Header Ads

Konfrontasi Dewa Bayu Vs. Dewa Tirta

Dewa Bayu dan Dewa Tirta ribut. Mereka uring uringan. Ini gara gara, pekerjaan saling tumpang tindih. Bayu merasa tugasnya diserobot oleh Tirta. Begitu pun Tirta, merasa dilangkahi oleh Bayu. Kacau, tak jelas juntrungan, perbincangan mereka membuat kepala serasa akan pecah. 

Di sebuah perkampungan, Maha Dewa Residence, tempat berkumpulnya manusia tanpa busana, suasana dahulu sangat harmonis. Air dan angin tak boleh saling beradu. Jika keduanya menjadi satu, warga menderita. Kebanyakan angin, warga masuk angin, cegukan terus terusan akibat kembung, atau kentut nyaris tak bisa dihentikan. Sebaliknya jika air terus mengguyur perkampungan itu, dijamin warga sering pergi ke kamar mandi karena kencing tanpa jeda. Di samping itu, masalah klasik luapan air sungai, banjir.

'Kamu gimana sih. Kalau kamu ikutan kerjaku, akibatnya begitu. Lihat tuh di bawah, orang orang pada pusing.' tunjuk si Bayu, marah kepada si Tirta.
'Lah, aku ndak tahu. Kayanya aku salah jadwal. Kukira kamu tidur. Jadi aku isi saja tugasmu. Biar kerjaanku selesai. Gantian tidur.' bela Tirta.
Memang untuk urusan tidur, Bayu nomor satu. Tak ada yang bisa mengalahkan. Diguyur air satu ember pun tak mampu menghalangi si Bayu bermimpi hingga siang bolong.
'Yah gak seperti itu. Kalau jadwalnya gini, ya gini. Ga bisa diubah ubah semau puser kita sendiri.' cerocos Bayu.
'Kamu tidur, Yu.'
'Kan bisa bangunin aku.'
'Susah kali bangunin kamu.'
'Kreatif dikit dong. Bunyiin musik kenceng kek. Biar aku kaget.'
'Ya udah aku yang salah. Maaf kalau begitu.' Tirta mengalah.
'Ga bisa cuma minta maaf. Urusan ga akan selesai dengan maaf. Ini sudah urusan orang banyak. Kau tahu, nama besar kita jadi taruhan.'

Tirta tertunduk, tak mampu menatap mata si Bayu. Ia sudah mengakui kesalahannya, yang ternyata tak berhenti sampai di sini. Mengikuti jalan pikiran si Bayu tak ubahnya seperti menjaring angin yang sesungguhnya. 
'Apa yang akan kita perbuat?' tanya Tirta.
'Kita harus minta maaf ke penduduk. Kita jelaskan masalahnya dengan jujur. Pasti mereka mau menerima. ' Nah, ini si Bayu menganjurkan untuk meminta maaf. Lalu, di mana letak perbedaannya?
'Aku malu. Pasti mereka marah besar.' balas Tirta.
'Dicoba dulu. Belum belum sudah nyerah.'

Di bawah, warga kampung sibuk bolak balik ke kamar kecil. Bayi bayi menangis, ibu ibu kelelahan mengganti popok, mencuci dan mengeringkannya dengan terburu buru. Bapak bapak sibuk menyelamatkan perut mereka, memakan obat mencret berkali kali, tak peduli jika perut punya kapasitas batas buat menerima obat. Yang paling kasihan nenek dan kakek. Mereka tak bisa dengan cepat menuju kamar mandi, ringkih mereka membuat harus merelakan begitu saja celana basah oleh kencing dan berak. Dan ujung ujungnya, bau pesing dan tengik menguar di segala penjuru kampung.

Dewa Bayu dan Tirta turun ke bawah. Menuju permukiman Maha Dewa Regency. Menjelma menjadi dua perempuan cantik, tanpa cela. Berbusana seperti Gadis Keraton, memakai cadar penutup muka. Dua dewa yang menyamar itu lantas mendekati kumpulan warga. Ajaib, aktivitas permencretan warga terhenti. Karena takjub dengan kecantikan dua gadis dewa angin dan air.
'Wahai warga. Kami kemari membawa ramuan agar sakit kalian reda. Hilang.' tawar Dewa Bayu.
Tanpa sepengetahuan warga, sepatu hak tinggi Dewa Bayu beda warna. Yang satu merah, satunya kuning.
'Ya benar warga. Ini ramuan yang akan membuat kalian sehat kembali.' sodor Dewa Tirta yang ternyata bedaknya sangat tebal hingga tampak seperti artis pantomim. 

Dua Teh Botol Sosro tampak mengilat. Bercahaya. Dan seluruh warga ternganga dibuatnya.

'Wah itu kan teh yang sering diiklankan di tivi!' seru suara salah seorang perempuan.
'Kalau teh botol, mending buat teh pahit di rumah saja.' tambah seorang bapak bertubuh cebol.
'Bukan Ibu. Dalamnya bukan teh. Tapi ramuan. Botolnya saja kami pinjam dari toko sebelah ....' Dewa Tirta keceplosan disikut Dewa Bayu.
'Dari mana kau dapat itu botol?' bisik Dewa Tirta.
'Ini kami serahkan kepada kalian. Bagilah rata. Seluruh orang harus meminumnya. Dijamin sembuh.' Dewa Bayu menambahi.

Sibuk membagi ramuan, warga tak memperhatikan jika dua dewa jelmaan meninggalkan mereka.

Di Kahyangan, Dewa Bayu dan Tirta sudah berganti kostum kembali menjadi Dewa yang sesungguhnya.
'Apa yang kau masukkan ke botol tadi?' tanya Dewa Tirta.
'Mm anu ....'
'Pas aku dandan, tiba tiba saja kau dapat itu botol ramuan.'
'Anu ....'
'Katakan saja.'
'Anu. Kencing Dewa Bujana.'
'Dasar. Kurang ajar.'
'Tapi lihat itu penduduk, pada sembuh semua.'
'Syukurlah.'



Tidak ada komentar