Header Ads

Helm Berstandar SNI, Sensasi Materialistik a la KD, dan Lubang Jalan Maut di Kala Hujan

Berdebu, kaca helm dilap dengan kain basah. Semakin buram, makin tak jelas, parah. Mata tak tajam, mata hanya mampu menerka benda apakah yang ada di depan mata yang terhalang. Oleh kaca riben, yang kotor oleh debu jalanan. Hasil berzig zag, menyusuri sepanjang jalan. Dari kos menuju kampus, kampus menuju kos, bolak balik, mengurus ini dan itu, berbekal semangat. Ya, hanya semangat. Selebihnya, kehendak Tuhan yang berkuasa atas tubuh dan jiwa yang saya terima. Cuma cuma, tanpa bea, gratis. Bersyukur atas segalanya.

Ini kisah tentang helm. Dengan mutu berstandar nasional. Bercap SNI, dengan timbulan yang bisa dirasakan oleh jemari. Takluk oleh peraturan yang dibikin, atau saya musti mengeluarkan uang beribu ribu rupiah jika melanggar, menjalani aktifitas sehari hari bermotor dengan helm yang rapat. Tak boleh ada angin yang boleh masuk. Kuatir wajah menjadi busam, atau menghindari para pengintip yang berkeliaran di segala penjuru jalan. Saya mengakui, tak serasilah helm yang saya pakai dengan motor yang setiap hari saya tunggangi. Motor saya bermesin tak dua, dengan rem yang kadang blong, dan menderitkan suara yang membuat hati miris. Saya terus bergerak menuju kampus. Setiap hari. Hanya ingin studi berhasil dan menghaturkan untuk kali kedua kelulusan kepada orang tua.

Celaka di Jalan Berlubang

Pernah suatu saat, hujan lebat dengan petir yang lumayan parah, saya hampir tewas di jalan. Helm mencuat dan kepala saya hampir pecah karena jatuh membentur aspal. Karena lubang di jalan. Ya, lubang jalan yang tertutupi oleh genangan air. Sangat bersyukur, hanya memar yang saya dapat. Jika saya meninggal dunia, karena insiden kecelakaan itu, betapa sedih bapa dan ibu saya. Begitu saya membatin. Segala mimpi milik kami, menguap seketika, kasarnya, tak ada lagi yang menjadi penerus semangat kedua orang tua saya. Mereka hanya pedagang kecil. Menjual helm dengan kualitas standar, tanpa SNI.

Setelah kecelakaan itu, yang saya alami pada 23 April 2009, bapa dan ibu memutuskan hanya menjual helm standar. Doa mereka, semoga tak akan ada kecelakaan dengan sasaran kepala, akibat lubang di jalan, tabrakan maut, atau yang lain, yang hampir merenggut nyawa putra kesayangan mereka. Saya. Mereka tak berharap hal itu terjadi pada orang lain. Meski dengan risiko, jumlah helm yang dijual bapa dan ibu enyusut drastis. Tak menjadi masalah, kalimat ini yang selalu saya ingat. Diucapkan bapa saat pertama kali menjual helm standar. Selanjutnya saya berpikir, betapa bapa dan ibu adalah dua sosok yang terus memberi inspirasi saya untuk maju. Melesat, tak kalah dengan anak para kaya di kampung kami.

'Nang, bapa dan ibu cuma bisa kasih kepinteran buat kamu.' Ibu selalu memberi nasihat kepada saya. Waktu saya mudik, lewat telepon yang mereka pinjam dari tetangga, atau pesan melalui SMS. Atau terkadang, mereka menulis surat, yang di zaman sekarang menulis surat adalah hal yang dianggap kuno.

'Baik, Bapak. Ibu.'

'Jangan lupa pakai helm mu kalau naik motor. Kepalamu modalmu untuk maju. Hati hati Nang.' Bapak menambahi.

'Saya selalu pakai helm Pak. Helm standar.' Ah, sering saya berbohong. Tak jarang saya asal pakai helm, milik teman, karena lupa menyimpan helm titipan bapa. Ya, helm standar berwarna merah, yang diberikan saat saya berangkat pertama kali ke Yogya. Menjadi mahasiswa baru. Bapa selalu berpesan agar saya merawat baik baik helm itu. Supaya menyelamatkan kepala saya. Modal saya untuk maju.

Benar. Dua hari lalu, teman satu kos saya meninggal dunia. Ia mengalami kecelakaan yang sangat parah, pecah kepala. Padahal ia membonceng teman sekampusnya. Ya mungkin itu sudah takdir, banyak orang melontarkarkan alasan kematian si Fulan. Tapi, saya berpikir, bukankah Tuhan sudah memberi isyarat: Bagi mereka kebaikan, ialah pada mereka yang berhati hati. Entah surat apa di Kitab Suci, saya masih ingat itu bermula dari Ustaz saya di Madrasah sewaktu saya kecil.

Helm, kematian, dua kata yang sangat dekat.

Oleh karena itu, Pemerintah sudah sangat baik memberikan pelayanan terhadap masyarakat dengan menganjurkan, atau mewajibkan tepatnya, para pengendara sepeda motor mengenakan helm standar. Wahai Pemerintah, saya memberikan penghargaan setinggi tingginya kepada Anda. Untuk pemberian alternatif mengurangi risiko kematian akibat kecelakaan di jalan raya.

Tapi, bagaimana dengan lubang jalan raya di waktu hujan deras itu? Yang mematikan satu teman kos saya? Yang pernah hampir merenggut nyawa saya juga?

Ya, mungkin itu tanggung jawab para kontraktor atau konsultan yang kurang teliti menghitung berapa takaran campuran antara pasir, semen, dan kerikil. Saya memaafkan mereka, karena tebakan saya, kematian para pengendara akibat jalan berlubang yang mereka bangun tidaklah sangat besar. Ya, ya, kita harus saling memaafkan.

'John. Si Fulan mati karena di dekat jalan itu ada pohon beringin loh.' Teman saya memulai percakapan di siang hari ini. Panas sekali, dengan kipas angin menyalak di sudut kamar saya.

John panggilan yang diberikan teman teman kos kepada saya. Mereka mengaku jika saya mirip dengan John Legend. Penyanyi luar negeri. Saya tidak tahu yang mana John Legend. Menerima dengan tanpa berpikir nama itu. Saya terkenal dengan sebutan John.

'Memang ada apa dengan pohon beringin itu?' Saya mengikuti saja pembicaraannya, dan saya mengerti arah pembicaraannya tak lain dan tak bukan bermuara pada unsur KLENIK.

Entah apa yang ada dalam pikiran teman saya ini. Segala sesuatu selalu dihubungkan dengan hal gaib.

Saya sendiri memercayai adanya makhluk di luar kita, setan jin atau apa pun. Tak menampiknya. Sama sekali. Karena mereka juga makhluk ciptaan Tuhan, yang wajib untuk kita hormati keberadaan mereka. Dan saya meyakini, mereka mempunyai tempat sendiri untuk hidup. Tak harus saling memotong dengan nasib kita, manusia.

'Si Fulan mati karena membunyikan klakson. Dia lihat nenek tua mau nyebrang jalan. Hujan kan. Kaget dia, helmnya kena kabut. Jadi dia bel keras banget.'

Makin bersemangat dirinya. Saya hanya mengangguk angguk.

'Benarkah?' saya cukup memberikan pertanyaan seperti ini. Dan seluruh cerita takhayul keluar dari mulut teman saya. Sangat antusias, bersemangat menggebu gebu, layaknya seorang Pahlawan yang berhasil membunuh musuh dengan satu gertak.

Dan saya langsung melupakan, setelah mendengar lelah kursus singkat perhantuan dari teman saya. Yang saya beri julukan, dalam hati saja saya mengatakan, Fredy si Dukun Cabul. Tak ada perkataan dirinya yang harus ditanamkan di dalam hati. Hanya, kemampuan bertuturnya yang saya beri acungan jempol. Tak ingin jiwa saya diasup dengan kisah imajinasi kebablasan. Yang saya butuhkan cerita cerita hebat, yang menggelorakan semangat, bukan cerita yang mengharu biru pelena logika. Setidaknya saat ini saya menjadi pendengar yang baik dahulu, untuk memilah milih perkataan apa yang layak untuk ditawarkan kepada khalayak. Di masa mendatang.

Baik, saya mencari di mana helm standar titipan bapa. Di manakah gerangan? Semoga tidak hilang. Saya tak mau dikutuk menjadi anak durhaka. Meski saya tahu dan yakin, bapa dan ibu bukanlah tipe manusia seperti itu. Yang menyerapahi sang putra hanya untuk melampiaskan emosi sesaat mereka. Bersungut sungut menanyakan helm merah ber SNI.

Bapa, ibu, dan helm. Suatu inspirasi.

 

Tidak ada komentar