PLN, Hidup ala Manusia Gua, dan Badai Katrina
Gelap lampu. Menulis tanpa cahaya. Dan mengarang dengan melantur. Berharap jari jari tepat memilih huruf demi huruf, hingga membentuk kalimat. Tepat.
Hujan di luar. Rekan kerja hanya bisa bernyanyi. Menghibur diri, berharap sial tidak menimpa seusai lampu menyala. Kembali ke rumah dengan hati yang pas.
Jika Pawang Hujan ada, pasti dia sibuk. Mengatur di mana hujan harus ditimpakan. Daerah kering butuh air, mendapat berkah seketika. Tidak selamanya. Selanjutnya, mereka harus berjalan berpuluh puluh mil mendapatkan sekadar tetes. Atau, menggeser hujan dari tempat pernikahan. Hajat para kaya yang ingin memamerkan seluruh kemampuan dan kekayaan mereka. Berujar pada dunia, 'Wahai alam. Aku suguhkan benda dan jiwaku untuk kau lihat. Bahwa aku adalah penguasa jagad ini.'
Paduan katak kenyang berenang, bersama angin yang cepat. Mengaburkan payung dan rok para pejalan kaki yang ingin segera sampai di rumah. Untuk cepat mandi air hangat dan menggosok rambut. Lalu, tidur di muka ruang api unggun menghangatkan tubuh. Hujan yang sungguh lebat, disertai petir yang menggetarkan jantung para lansia. Entah kapan akan berhenti. Agar hati bayi bayi tanpa dosa tak kuatir, dan kembali menetek ibu mereka. Tidur lelap dalam buaian sang Bunda, dalam jagaan Ayahanda.
PLN harus segera bertindak. Atau, aneka rupa umpatan hadir di segala cara. Di internet, di percakapan para bapak ronda, atau arisan ibu ibu yang penuh dengan gunjingan. Secepatnya, atau petinggi PLN harus dilengserkan dengan cara yang tidak manusiawi. Menenggelamkan ia ke sungai yang berarak. Penuh dengan minuman memabukkan, membuat ia puas menikmatinya untuk mati perlahan karena perut meletus tak kuat menyerap alkohol.
Hidung dan telinga sejarak satu jengkal. Telinga tuli, hidung masih bernapas dengan tanpa bea. Isyarat warga yang letih tak berlampu, tak dipedulikan oleh pejabat yang menyambi pula menjadi konglomerat. Krisis lampu masih berlangsung. Perlahan, satu jam. Dua jam, sehari, selebihnya dalam gelap mutlak.
Wahai angin dan badai, selayaknya kalian bersahabat. Bantu negeri kami yang tak tahu ke mana arah kalian berembus. Janganlah pelan, tidak pula kami berharap kencangmu yang mencabut rumah rumah kami.
Semoga cahaya cepat kembali.
Hujan di luar. Rekan kerja hanya bisa bernyanyi. Menghibur diri, berharap sial tidak menimpa seusai lampu menyala. Kembali ke rumah dengan hati yang pas.
Jika Pawang Hujan ada, pasti dia sibuk. Mengatur di mana hujan harus ditimpakan. Daerah kering butuh air, mendapat berkah seketika. Tidak selamanya. Selanjutnya, mereka harus berjalan berpuluh puluh mil mendapatkan sekadar tetes. Atau, menggeser hujan dari tempat pernikahan. Hajat para kaya yang ingin memamerkan seluruh kemampuan dan kekayaan mereka. Berujar pada dunia, 'Wahai alam. Aku suguhkan benda dan jiwaku untuk kau lihat. Bahwa aku adalah penguasa jagad ini.'
Paduan katak kenyang berenang, bersama angin yang cepat. Mengaburkan payung dan rok para pejalan kaki yang ingin segera sampai di rumah. Untuk cepat mandi air hangat dan menggosok rambut. Lalu, tidur di muka ruang api unggun menghangatkan tubuh. Hujan yang sungguh lebat, disertai petir yang menggetarkan jantung para lansia. Entah kapan akan berhenti. Agar hati bayi bayi tanpa dosa tak kuatir, dan kembali menetek ibu mereka. Tidur lelap dalam buaian sang Bunda, dalam jagaan Ayahanda.
PLN harus segera bertindak. Atau, aneka rupa umpatan hadir di segala cara. Di internet, di percakapan para bapak ronda, atau arisan ibu ibu yang penuh dengan gunjingan. Secepatnya, atau petinggi PLN harus dilengserkan dengan cara yang tidak manusiawi. Menenggelamkan ia ke sungai yang berarak. Penuh dengan minuman memabukkan, membuat ia puas menikmatinya untuk mati perlahan karena perut meletus tak kuat menyerap alkohol.
Hidung dan telinga sejarak satu jengkal. Telinga tuli, hidung masih bernapas dengan tanpa bea. Isyarat warga yang letih tak berlampu, tak dipedulikan oleh pejabat yang menyambi pula menjadi konglomerat. Krisis lampu masih berlangsung. Perlahan, satu jam. Dua jam, sehari, selebihnya dalam gelap mutlak.
Wahai angin dan badai, selayaknya kalian bersahabat. Bantu negeri kami yang tak tahu ke mana arah kalian berembus. Janganlah pelan, tidak pula kami berharap kencangmu yang mencabut rumah rumah kami.
Semoga cahaya cepat kembali.
Post a Comment