Angin Kincir Belanda, Kewarganegaraan Ganda, dan Mimpi Jualan Sayur dan Buah
Berharap angin segera datang. Mendinginkan tubuh, tak panas membara. Oleh aroma sesat, selebihnya memasukkan sang angin ke dalam stoples. Untuk dilihat seperti apa bentuk angin. Memelototinya sangat lama, apakah angin akan mewujud dalam bentuk nyata. Yang sesuai harapan. Saya sebagai manusia.
Lalu, saya akan membentak. 'Hai angin, ke mana saja kau!'
'Saya di Belanda. Bermain dengan kincir!' Ia ganti membentak.
'Kenapa kau tak ke sini!' Lebih kencang lagi.
'Percuma. Kalian dungu!' Angin lebih kencang.
'Dungu kenapa!'
'Angin yang kau tahu hanya angin kentut!' Kencang lagi. Lebih seru.
'Sialan kau. Apa yang kau dapat dari Negeri Penjajah itu!' Lebih kencang lagi.
'Turunan produk!' Melemah sedikit nada sang angin.
'Tak cukupkah mereka menjajah negeri ini. Merampok semua aset sejarah. Dan kau berpihak kepada mereka!' Saya tetap kencang bersuara.
'Kau bodoh. Salah satu warga yang bodoh!' Angin mulai menaikkan suara lagi.
Saya membuka stoples. Membiarkan angin itu pergi. Biar ia berlari kembali ke sana, Belanda yang jahanam. Atau, saya mendoakan semoga ia menemui angin kentut khas Nusantara. Merasakan jika angin kentut di sini adalah angin kreatif yang bisa memperlakukan nasib tak ubahnya barang mainan. Mengombang ambingkan segala yang ada. Benar, salah, dan abu abu, menjadi bauran yang tampak memusingkan. Namun tetap saja kami mampu bertahan. Karena kami orang orang besar yang menerima apa adanya hidup ini. Dan sabar menunggu jatah kebaikan akan melekat pada tubuh kami.
Berbeda dengan di sana. Yang sudah mantap. Di Belanda, di Eropa, di Amerika Serikat. Nusantara tempat kami, tempat saya berjumpa segala angin.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Lalu, saya akan membentak. 'Hai angin, ke mana saja kau!'
'Saya di Belanda. Bermain dengan kincir!' Ia ganti membentak.
'Kenapa kau tak ke sini!' Lebih kencang lagi.
'Percuma. Kalian dungu!' Angin lebih kencang.
'Dungu kenapa!'
'Angin yang kau tahu hanya angin kentut!' Kencang lagi. Lebih seru.
'Sialan kau. Apa yang kau dapat dari Negeri Penjajah itu!' Lebih kencang lagi.
'Turunan produk!' Melemah sedikit nada sang angin.
'Tak cukupkah mereka menjajah negeri ini. Merampok semua aset sejarah. Dan kau berpihak kepada mereka!' Saya tetap kencang bersuara.
'Kau bodoh. Salah satu warga yang bodoh!' Angin mulai menaikkan suara lagi.
Saya membuka stoples. Membiarkan angin itu pergi. Biar ia berlari kembali ke sana, Belanda yang jahanam. Atau, saya mendoakan semoga ia menemui angin kentut khas Nusantara. Merasakan jika angin kentut di sini adalah angin kreatif yang bisa memperlakukan nasib tak ubahnya barang mainan. Mengombang ambingkan segala yang ada. Benar, salah, dan abu abu, menjadi bauran yang tampak memusingkan. Namun tetap saja kami mampu bertahan. Karena kami orang orang besar yang menerima apa adanya hidup ini. Dan sabar menunggu jatah kebaikan akan melekat pada tubuh kami.
Berbeda dengan di sana. Yang sudah mantap. Di Belanda, di Eropa, di Amerika Serikat. Nusantara tempat kami, tempat saya berjumpa segala angin.
Meribut di www.andhysmarty.multiply.com
Post a Comment