Header Ads

Bidadari Berambut Emas Saksi Kunci Kasus Bank Century

    Bidadari berambut emas. Bercat, tak gimbal, dengan tindik di cuping hidung. Alangkah asyik jika ia bercerita. Kepada kawan kawannya, memamerkan kejeniusan, dan merangkai kalimat kalimat yang entah ia sendiri atau orang lain bisa memahami. Ia bercerita tentang bulan purnama, longlong serigala bermoncong putih, atau sesekali meneriakkan jika ia tidak puas dengan takdir yang ada padanya.

Gundah dalam sekap malam, ia berbincang dengan kawan yang satu per satu mulai jenuh dan kabur untuk mencari kesenangan yang lebih menantang. Yang tidak oleh Bidadari berambut emas. Yang sekarang luntur warnanya, karena air hujan tanpa ampun berkata, 'Hai, warna hitam rambutmu kau buang kemana?'

'Saya tak pernah mengubah warna rambut. Hanya menyesuaikan suasana hati.'
'Jadi kau berkata, rambutmu itu menunjukkan kegembiraanmu menaklukkan dunia? Tapi bukankah kau sudah tak berteman lagi. Satu kawan di hadapanmu itu hanya ilusi.' Air hujan bertanya, juga menampar sang Bidadari.
'Biar mereka pergi. Saya berkarya.' timpal Bidadari sembari menyibakkan rambut dirinya yang mulai kembali menghitam.
'Kau bilang semua ini karya? Karya seperti apa lagi? Kau bilang, kemarin, kau sejenius Beethoven, atau Mozart, atau komponis terkenal yang kau sebut mampu memecahkan gendang telinga pendengarnya. Seperti itukah karya yang kau buat?'

Air hujan memanggil temannya, sang Kilat.
'Kau lihat. Ini kawan abadiku. Kilat.'
Kilat menyambar, serasa membungkukkan badannya untuk berkenalan dengan Bidadari berambut emas.
'Dia selalu datang kalau aku butuh. Dan kau, mengemis dengan cerita cerita bohongmu. '
'Saya tak mengemis.'
'Bohong!' Air hujan semakin menghebat, tumpah sudah kemarahannya kali ini. 'Kau berkata hebat? Tapi, sekarang kau mengemis dengan alasan kau butuh bertahan hidup.'
'Bukankah itu wajar. Saya manusia. Walaupun saya mengaku sebagai bidadari, dengan rambut saya yang em ....' Ia tertahan. Tak mampu meneruskan kalimatnya, karena memang rambutnya sekarang sudah tidak emas lagi.
'EMAS. Selesaikan saja kata manismu itu!'
Meledak ledak. Air hujan dan kilat berdansa. Merasakan kepuasan mereka mengetahui sang Bidadari tak mampu lagi bertahan dengan sumbar yang pernah ia ucapkan.

Bidadari berambut emas menangis. Ia lari meninggalkan air hujan dan kilat. Ingin melapor, tapi kepada siapa ia akan berkisah. Karena, tak ada lagi yang percaya dengan dirinya. Dan, sepertinya, bumi telah menjatuhkan hukuman setimpal. Hukum alam selalu berlaku bagi siapa saja. Tak terkecuali. Kepada Bidadari berambut emas yang sombong, yang tak mengenal adanya sisi pemikiran lain.

Lari ke mana dirinya? Sepertinya, ia lari ke tempat yang memberinya harapan.












Tidak ada komentar