Header Ads

Pecinta Hujan

Satu titik hujan berhasil saya tangkap. Dengan tangan telangkup, saya permainkan butiran itu. Menggoyang goyang, seolah sensasi daun talas terjadi. Lalu saya bertepuk keras. Mematikan kehidupan titik hujan.

Mencari lagi hujan lain yang lebih banyak butiran.

Jika salju di sini, saya akan membuat es krim. Tak peduli lagi hujan air. Karena merasa, sekarang bukan derajat saya untuk bermain berlari larian di deras hujan air. Sekarang, saya lebih berlaku sebagai anak anak salju. Yang membikin orang orangan salju, gunung salju, bermain ski di hujan lebat salju. Merasakan jekut yang lebih menyerang, lebih tebal menutup tubuh, tak lagi hanya selimut bekas kepunyaan Ibu di rumah kampung. Itupun jarang sekali hujan air. Kekeringan, kekeringan teramat parah hingga air sumurpun berdalam dalam ria. Dan, begitulah kenangan saya akan air hujan. Kini, saya merasakan hujan salju, nyata nyata, tak sekadar bayangan lagi.

Hujan, salju atau air. Hanya nama yang membedakan. Selebihnya, tak ingin beranjak dari rumah. Secangkir teh panas, makanan kecil, tanpa rokok yang menyertai. Membaca buku kesayangan, jelas dengan bantuan kaca mata, pula disuguhi sindiran hangat dari sang istri.

'Ayah, teringat pacar pertama Ayah ya?'

Dan ....

Tidak ada komentar