Header Ads

Jika Bermain dengan Ibu Negara itu Halal

Mengidolakan sosok ibu negara tak ubahnya bunuh diri, memberikan nyawa kepada aparat keamanan. Tabu, tak boleh dipilih, berujung bui. Undang undang, peraturan pemerintah, atau segala buku buku hukum siap menunggu, memenjarakan kepada mereka yang menganggap citra ibu negara adalah tuntunan hidup. Ia masih bersuami, pasal penghinaan atau pelecehan terhadap keluarga kepresidenan akan didakwakan. Kepada sang pemberani ceroboh, tak berstrategi, mencintai ibu nomor satu di negeri ini. Tak adakah panutan lain?

Sepertinya, belum ada. Hanya ia yang membekas di hati. Seorang kekasih pun tenggelam di balik citra Sang Dewi, Ibu negara. Sosoknya yang tangguh, penunjang kedigdayaan Presiden, membuat berbagai lelaki dari aneka kasta dan strata tak mampu mengalihkan pandangan. Biarpun satu kedip. Tak mampu.

Ia amat cerdas. Pemikiran yang sering ia letupkan, di sela waktu politik suaminya, terkadang membuat gerah. Namun tak jarang membuka mata dan telinga pendengarnya untuk berefleksi. Menyuguhkan tontonan yang bermutu, dan menghibur. Sungguh perempuan ideal, sukses di rumah tangga, dan merintis karir politik dengan lincah. Saya pun menginginkan satu malam bersama dirinya. 

Ingin saya menjemput ia di malam cerah. Membawa motor sekenanya, mengetuk pintu Istana negara, dan mengucap salam takzim. Saya tahu, sang Presiden di sana, separuh mukanya tertutupi oleh bahu Ibu Negara. Lemparan senyum dan salam tertuju kepadanya. Meminta izin kepadanya untuk membawa istrinya satu malam saja. Dan mengembalikannya dengan selamat, tak ada bekas gigitan, tamparan, atau apapun. Tak ada cerita kekerasan terhadap perempuan yang terjadi. Saya berjanji. 

Menuju tempat yang dituju, Si Ibu Negara bercerita sangat antusias di belakang saya. Motor saya aman aman saja. Biasanya, ia sering mogok. Tapi, malam ini tak ada sedikitpun suara mencurigakan. Kami menuju Bar. Tidak untuk mabuk. 

Di pelataran parkir, seorang petugas gemuk memeriksa kami. 
'Dilaporkan, seorang lelaki membawa lari Ibu Negara.' Tampak jelas suara seorang pembawa berita TV. Dan saya pun ditangkap. Hanya dengan alasan yang dibuat buat. Masuk penjara. 
Tak sempat saya mengembalikan Ibu Negara. Apakah ia digelandang oleh sang tukang parkir? Entahlah. Sekarang siksa, pukulan, cubitan, dan tamparan, saya peroleh dari polisi dan sipir penjara. Hidup saya berada di ujung tanduk. Karena bermain dengan Ibu Negara. 

Tidak ada komentar