Header Ads

Saatnya Berburu Daging Kambing: Meski Kaya, Ikut Antre

Saatnya berburu daging domba. Menuntaskan hasrat pencarian di pagi hari, memuaskan berahi di malam hari. Kambing dan domba makanan idola sepanjang masaku. Penghilang kesuntukan di otak, pemacu adrenalin sperma di skortum. Jangan kau marahi aku. Jangan. Kau tak berhak memprotes kelakuan eksotis yang kulakukan hampir setiap tahun. Aku orang kaya, yang masih bantuan akan makanan lezat. Wisata kuliner tak cukup bagiku. Lebih, lebih, lebih. Masa bodoh dengan fakir miskin. Pasti mereka telah didaftar, pasti ada sisa daging kambing. Aku harus meminta panitia kurban.

Usai shalat idul adha, aku tak bergegas balik ke rumah. Istriku tak biasa memasak. Tak bisa. Dia jijik jika ada bau kambing. Muntah hebat, ditambah murka yang parah kepadaku.
Ayah makan kambing lagi ya? Sudah aku bilang, tak ada pikpuk selama tiga hari. Umpat istriku deras.
Pikpuk adalah istilah kami untuk bercinta. Mati kutu kalau itu sudah terjadi. Suami manapun tak akan berkutik jika istri sudah ngambek. Padahal efek dopler daging kambing tak bisa dibendung. Aku terpaksa menunduk lesu. Hanya bisa menatap lunglai sang lantai. Menyeberangi perasaanku yang tak bersambut.
Tak apa apa adiknda, lain kali saja. Tiga hari lagi. Belaku pada hati.

Panitia sedang menjagal kambing. Momen sapi di sudut lain aku tak pedulikan. Cukup kambing atau domba, cukup. Kuperhatikan cucuran darah segar, rintihan mereka yang rela dikorbankan bagi kebahagiaan umat. Alangkah mulia jiwa kambing. Aku malu tapi segera tertutup oleh rasa beringasku meminta jatah daging.
Pak,plis kasih saya kambing. Plis. Batinku.
Tiba pembagian. Kupon aku julurkan. Bersama para fakir miskin, aku mengantre. Hidup terasa nikmat saat melupakan kekayaan dalam singkat. Miskin kucecapi. Bravo!

Aku berlari kencang menuju rumah. Berteriak hebat teruntuk istriku. Dan,

Tidak ada komentar