Header Ads

Menghapus gelar 'pakar': Memberantas Diskriminasi Intelektualitas

Tak hanya politik yang macet. Intelektualitas negeri ini juga berhenti di tempat, macet total. Regenerasi di segala lini tak berjalan, jurang antara tetua dengan para muda menganga, sangat lebar. Kesan ini diperparah dengan maraknya penggunaan kata 'pakar'.

Mari kita simak perlahan lahan.
Pakar telematika, pakar forensik, pakar hukum, pakar kriminalitas, pakar kuliner, pakar kesehatan, dan berjuta juta pakar lain.

Dalam bayangan saya, sebuah negeri yang bijak tak akan mendewakan perseorangan atau kelompok sebagai pakar bidang tertentu. Ini tak ubahnya Kerucut Makna. Mereka para pakar di puncak kerucut, para penonton berada di dasar. Hanya memantau tanpa diberi kesempatan untuk belajar kepada para pakar. Keadaan ini makin diperparah dengan tabiat para pakar yang dengan senang hati menerima gelar kepakaran.

Saya siap membantu memastikan keaslian video CCTV, ucap genit pakar telematika.

Saya bersama aparat hukum akan bertindak tegas terhadap pelaku salah tangkap, ujar politis pakar HAM.

Ada apa gerangan? Mengapa saya merasa sedang dibohongi? Telak seperti monyet tak punya kemampuan menolak makanan selain pisang.

Salah tiga terobosan yang layak dilakukan adalah:
1. Penghapusan kata pakar. Mengingat azas kepatutan dan kepantasan di muka umum. Peludah di jalan tak mungkin diberi gelar 'Pakar Ludah' bukan?
2. Orang orang yang telah diberi predikat pakar harus meminta maaf melalui konfrensi pers, koran satu halaman penuh, dan corong radio.
3. Mengenakan tahanan rumah bagi para pakar. Meminta mereka memberi kursus untuk alih kepintaran bagi yang ingin belajar.

Semoga diskriminasi kadar intelektualitas di negeri ini terhapus. Atau, berkurang setidak tidaknya.

1 komentar: