Header Ads

Bundaran Hotel Indonesia (Seri Pelancong Gendong)

Bundaran HI

Hai, selamat datang di Jakarta. Tangan mengepal membuka. Tanpa gerak dari sepasang remaja kosong bicara. Air memancar tak sampai di tubuh mereka. Sebatas mendinginkan suasana otak mereka yang panas. Jakarta menyapa dengan keluh kesah yang menunggu.
   Muda-muda, jarang pemudi, mejeng di sekitaran. Dengan senyum tertahan menunggu entah. Kedip lampu mobil bergengsi, peluit para polisi, atau sinyal para eksekutif di kamar-kamar apartemen.
   Kaki berkeresak beradu dengan beton dan paving. Lelaki muda penjaja koran, bertopi terbalik, menawarkan tak sepenuh hati kepada pemakai sepatu merk terbaru. Ia bergegas meninggalkan bangku menuju penerima hasutan di bawah lampu bundar bertangkai tiga.
   Bulan, separuh dalam warna samar. Langit hitam memasuki musim penghujan yang tak berbirama. Beruntung jalan aspal mulus. Hanya satu bungkus rokok kosong menyang-layang diterjang putaran mobil. Reklame berhias perempuan manis memijar menyapa hati pengunjung. Jakarta, kota seribu pesona.
   Hai, lihat! Anak kecil mengetuk-ngetuk kaca. Bukan kapak merah. Gadis bercelana robek dengan wajah tampak kusam. Dari jauh nyata, mata tak bisa dibohongi. Koin tak ia dapat, menggerutu, ia berlari mengejar kaca mobil anti UV yang bergerak menaik. Mengejar mimpi menjadi artis penuh bedak penyihir publik.
   Plaza Indonesia, di balik etalase kaca seorang lelaki pening. Memilih menu yang itu-itu saja. Sepasang dewasa bercanda berbisik pelan. Kontras, satu, sepasang, dengan kondisi luar.
   Semut ikut menari di atas kanvas kertasku. Menyetujui, jika hidup memang tak adil. Tapi tetap adil bila disyukuri.

Tidak ada komentar