Tabik 4 Le Clezio
Pengarang Perancis mereguk nikmat. Fotonya dipajang di selembar kertas. Di koran tercinta yang bermodal besar. Putih kulitnya, aku cokelat. Apakah dia penjelmaan diriku? Siapakah aku, wajah desa berbusana kumal. Jika saja dia mendengar ceritaku ini, pasti dia terkekeh. Dia pasti tak mau menjadi diriku. Apa yang telah kuhasilkan di malam ini? Meja belajarku tak ada kertas berisi kisah yang mengguncang jiwa. Antara Paris dan Paris di Jawa. Kami berseberangan. Tapi adakah yang mampu menyatukan kami?
Aku belum pernah membaca karya besarnya. Laut, udara berkorosi, dan air bernuansa kelam, menjadi jarak yang tak pernah dicapai, kami berdua. Mereka diperparah oleh rezim yang tak mengenal sastra sebagai asupan di pagi dan malam hari. Kerja melantur untuk membungkam mulut para budak yang diperas untuk dijual keringat manisnya. Kaum lemah menjadi sasaran umpatan penulis peraih hadiah prestisius. Membela kaum itu. Menunjukkan kepada para koloni pengisap darah bernama kekuasaan, jika ada makhluk yang bejat selain diri mereka. Bejat karena tak tahan menderita, tak mengikuti alur terstruktur milik pemerintah.
Diam, jangan ucapkan itu. Kau akan di penjara. Popor dan sepatu bot akan melayang ke mukamu.
Manusia macam apa kau, laknat tak tahu derita para pemimpin yang pusing tujuh keliling mengurus dapur kabinet.
Sudahlah, untuk apa kau berjuang. Pasti kau akan mati. Seperti pejuang kehormatan berinisial M, seperti si anu dan si itu.
Aku bertekad merebut simpati para pelanggar hukum, pemerintah, dan para pebisnis. Salahkah itu? Biarkan aku menyuarakan suaraku. Daripada aku diam dan tak peduli. Lebih baik aku mati, dengan karyaku yang tak seberapa.
Kau siap mati?
Ini kusiapkan peti, menyan, dan aneka bunga. Tujuh rupa pula!
Jemur dulu baju kotormu, silakan kau meneruskan kerja menulismu. Apa kau makan dengan hasil tulisanmu yang menentang keburukan di muka bumi? Penerbit di sini tak akan mau menerimanya.
Ho, ho, ho, ho, siapa kalian? Jawab satu persatu, tunjukkan kalian. Batang hidung, dan batang otak. Jangan sampai kalian bersuara bagai paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu sendu. Menangis dibuatnya. Yang ada kita akan menjadi cengeng, hiduppppp ... tak punya gairah. Melenyapkan mimpi-mimpi dengan tangis, air mata, oh alangkah bumi Rindunesia menjadi lahan subur untuk menjadi perempuan. Lelaki, bersoleklah menjadi pemain sinetron. Jadilah model, dan bertekuklah terhadap busana yang ditinggikan. Otak adalah barang mati yang siap berkarat.
Siap, Pak. Wah, bentar. Bukankah Anda tentara yang bersuara di sana? Siap Pak.
Maaf Pak. Saya balik dulu. Tulisan saya menanti untuk diketik. Belum dicetak, perusahaan kecoak sudah menunggu. Lumayan uang satu juta pasti kuraih. Hidup akan tersambung. Menulis adalah sebuah pekerjaan remeh temeh yang cukup untuk menghidupi keluarga kami. Maafkan saya, ya. Uang dan idealisme saya menuntut agar saya lebih fleksibel. Maaf sekali lagi, Pak.
Diam. Beberapa orang diam, takut melakukan kesalahan. Sedikit rasa yang ke luar dari pakem akan menyebabkan rasa nyeri di selangkangan. Bermain aman dan menanti kecupan manis para ajudan bahkan petinggi militer. Siapa tahu di tahun depan tak dimasukkan ke program wajib militer. Belenggu diri dilepas. Silakan diam. Bagi siapa saja yang masih memiliki jiwa.
Hu, hu, hu. Hanya segelintir orang. Semua takluk di hadapanku. Hai penulis, silakan kembali. Nyawamu tak berharga, di mataku kau adalah pencandu yang membuat kisruh di muka bumi ini. Milikku. Kau nikmati saja hidup sangitmu. Rasakan hidup di sebuah negeri yang mengharamkan arti inovasi menulis. Kau akan merasakan dengan hati yang kaku, lambat laun. Hiduplah dengan sisa napasmu. Kau tenggelam dalam sebuah dilema. Dan timbul keinginanmu untuk ke luar dan menyodorkannya ke negeri lain yang lebih manusiawi. Itu sudah menjadi harga mati. Buktikan saja. Sejauh mana kau mampu untuk menunjukkan jati dirimu.
Hai, aku bergeser beberapa langkah. Tak enak jika jauh dari satu pembicara yang mengelu-ngelukan diriku. Namamu siapa? Kamu orang sipil, ah aku rasa bukan. Kata siap tadi sudah mencirikan kau adalah sebuah apa yang pantas kusematkan ya? Budak, m terlalu kasar. Aku anggap kau sahabat. Pasti itu lebih baik. Mari berbincang. Wah, ada identitas diri yang tertancap di dada, di luar dada maaf. Asoi, amboi, kau memang orang yang sangat berkompeten. Kau milikku. Mari kita mengubah dunia dengan rasa yang sama. Aku tunggu jawabmu. Tak usah melalui mulut, cukup kedipan mata. Sudah cukup.
Dial ... logaritma ... sasu ... keremani
Perancis, akankah aku ke sana dan bertemu dengan pengarang itu.
Belum satu pun kata sengau kuhasilkan.
Aku mencoba.
Aku belum pernah membaca karya besarnya. Laut, udara berkorosi, dan air bernuansa kelam, menjadi jarak yang tak pernah dicapai, kami berdua. Mereka diperparah oleh rezim yang tak mengenal sastra sebagai asupan di pagi dan malam hari. Kerja melantur untuk membungkam mulut para budak yang diperas untuk dijual keringat manisnya. Kaum lemah menjadi sasaran umpatan penulis peraih hadiah prestisius. Membela kaum itu. Menunjukkan kepada para koloni pengisap darah bernama kekuasaan, jika ada makhluk yang bejat selain diri mereka. Bejat karena tak tahan menderita, tak mengikuti alur terstruktur milik pemerintah.
Diam, jangan ucapkan itu. Kau akan di penjara. Popor dan sepatu bot akan melayang ke mukamu.
Manusia macam apa kau, laknat tak tahu derita para pemimpin yang pusing tujuh keliling mengurus dapur kabinet.
Sudahlah, untuk apa kau berjuang. Pasti kau akan mati. Seperti pejuang kehormatan berinisial M, seperti si anu dan si itu.
Aku bertekad merebut simpati para pelanggar hukum, pemerintah, dan para pebisnis. Salahkah itu? Biarkan aku menyuarakan suaraku. Daripada aku diam dan tak peduli. Lebih baik aku mati, dengan karyaku yang tak seberapa.
Kau siap mati?
Ini kusiapkan peti, menyan, dan aneka bunga. Tujuh rupa pula!
Jemur dulu baju kotormu, silakan kau meneruskan kerja menulismu. Apa kau makan dengan hasil tulisanmu yang menentang keburukan di muka bumi? Penerbit di sini tak akan mau menerimanya.
Ho, ho, ho, ho, siapa kalian? Jawab satu persatu, tunjukkan kalian. Batang hidung, dan batang otak. Jangan sampai kalian bersuara bagai paduan suara yang menyanyikan lagu-lagu sendu. Menangis dibuatnya. Yang ada kita akan menjadi cengeng, hiduppppp ... tak punya gairah. Melenyapkan mimpi-mimpi dengan tangis, air mata, oh alangkah bumi Rindunesia menjadi lahan subur untuk menjadi perempuan. Lelaki, bersoleklah menjadi pemain sinetron. Jadilah model, dan bertekuklah terhadap busana yang ditinggikan. Otak adalah barang mati yang siap berkarat.
Siap, Pak. Wah, bentar. Bukankah Anda tentara yang bersuara di sana? Siap Pak.
Maaf Pak. Saya balik dulu. Tulisan saya menanti untuk diketik. Belum dicetak, perusahaan kecoak sudah menunggu. Lumayan uang satu juta pasti kuraih. Hidup akan tersambung. Menulis adalah sebuah pekerjaan remeh temeh yang cukup untuk menghidupi keluarga kami. Maafkan saya, ya. Uang dan idealisme saya menuntut agar saya lebih fleksibel. Maaf sekali lagi, Pak.
Diam. Beberapa orang diam, takut melakukan kesalahan. Sedikit rasa yang ke luar dari pakem akan menyebabkan rasa nyeri di selangkangan. Bermain aman dan menanti kecupan manis para ajudan bahkan petinggi militer. Siapa tahu di tahun depan tak dimasukkan ke program wajib militer. Belenggu diri dilepas. Silakan diam. Bagi siapa saja yang masih memiliki jiwa.
Hu, hu, hu. Hanya segelintir orang. Semua takluk di hadapanku. Hai penulis, silakan kembali. Nyawamu tak berharga, di mataku kau adalah pencandu yang membuat kisruh di muka bumi ini. Milikku. Kau nikmati saja hidup sangitmu. Rasakan hidup di sebuah negeri yang mengharamkan arti inovasi menulis. Kau akan merasakan dengan hati yang kaku, lambat laun. Hiduplah dengan sisa napasmu. Kau tenggelam dalam sebuah dilema. Dan timbul keinginanmu untuk ke luar dan menyodorkannya ke negeri lain yang lebih manusiawi. Itu sudah menjadi harga mati. Buktikan saja. Sejauh mana kau mampu untuk menunjukkan jati dirimu.
Hai, aku bergeser beberapa langkah. Tak enak jika jauh dari satu pembicara yang mengelu-ngelukan diriku. Namamu siapa? Kamu orang sipil, ah aku rasa bukan. Kata siap tadi sudah mencirikan kau adalah sebuah apa yang pantas kusematkan ya? Budak, m terlalu kasar. Aku anggap kau sahabat. Pasti itu lebih baik. Mari berbincang. Wah, ada identitas diri yang tertancap di dada, di luar dada maaf. Asoi, amboi, kau memang orang yang sangat berkompeten. Kau milikku. Mari kita mengubah dunia dengan rasa yang sama. Aku tunggu jawabmu. Tak usah melalui mulut, cukup kedipan mata. Sudah cukup.
Dial ... logaritma ... sasu ... keremani
Perancis, akankah aku ke sana dan bertemu dengan pengarang itu.
Belum satu pun kata sengau kuhasilkan.
Aku mencoba.
Post a Comment