Absurd Karya, Layak Terbitkah di Negeri ini?
Air, air keruh, tak layak disapa. Biarlah mereka memenuhi got untuk mandi para binatang jahanam. Para politikus busuk yang tak pernah melihat realita. Silakan saja berteman dengan para budak, jika Anda mau. Mau menjadi orang berdasi yang tak lekang oleh korupsi, atau menjadi seorang alim yang di sana surga telah menanti. Semua tinggal memilih. Klik layar dan muncul hasil 'search' dari Dewa Google yang diagungkan. Bill Gates terima kasih atas kasih sayangmu selama ini, hingga Linux pun tak mampu menjangkau jiwa dan otak kami yang sakauw.
Freedom, Bebas, biarkanlah hatimu mencapai cerah tanpa pernah digurui. Karena guru honorer layaknya sebuah paket yang hanya berharga seratus ribu rupiah. Selebihnya janji akan menenangkan paranoia yang membekuk seluruh urat. Tak ada gairah yang mereka rasakan. Hanya butiran nasi yang berhak mengisi perut nan lemah mereka. Janin pun tak sanggup menghasilkan jabang bayi merah, hanya susu formula yang mampu memberikan gizi ajaib bagi sang pengguna dunia baru. Bayi semacam cangkang, jika tak puas, makhluk itu ke luar mencari tempat yang baik. Ibu lepas tanggung jawab, ayah hanya bisa mencucurkan peluh selanjutnya mencari air yang lain.
Bunda, bunda, Bobolah dirimu. Kuganti dengan popok berbau pesing. Aku cuci sendiri. Jangan lihat dulu, aku malu karena belum dewasa untuk mandiri.
Tentu Mama suka, jangan panggil Bunda. Itu sebutan orang budak yang suka menanam tebu. Dihargai hanya sepuntung rokok. Lima, seribu rupiah. Mengisi para tukang angkot yang kebal-kebul menikmati rokok. Alangkah tebu menjadi komoditas politik yang usang, harga tak seberapa mulut para petaninya akan disumpal dengan janji yang manis bak tebu.
Ayah, itu ayahmu sedang menghadap tembok. Dia sedang menyirami tanaman. Gambar yang kaulukis di sana, Nak. Tanaman hijau, bunga matahari. Bukankah ayahmu sangat menyayangi dirimu, Nak. Menyuburkan lahan tempat kau menanam tebu dan bunga. Subur tanahnya. Dengan urea yang tersaring di ginjalnya yang tinggal separuh. Itu akibat kerja kerasnya, Nak. Tinggal separuh, melupakan makan siang, minum air putih, justru keruh, hanya untuk kesejahteraan kita.
Mama, coba ke sini. Di sini, ayah menemukan kata bijak. Guru kencing berdiri, anak kencing berlari. Mari berkejaran tanya jawab, apakah si guru dan anak didiknya saling mengencingi. Mengajarkan tawuran, menerima ajaran, dan membuat nama sekolah harum. Aku sedang mengamati, Ma. Jangan senggol nama baikku. Ini hanya sekedar tongkat. Nanti malam kita bicarakan lebih lanjut. Paham.
Air dan cinta.
Mati dan negeri Si Aa
Mengejar impian, mengejar berahi
Tunjukkan gigi tonggosmu ke arah si Buta Cakil
Bersulang dengan wine, tenggak seluruhnya
Jangan tersisa, maukah kau menjadi cemoohan
Sedikit saja, iblis merayu pelan
Tertawa cekikan, di ujung rasa yang tak pernah ke luar
Di tunggu di ujung tahun di malam gerimis di rumah sedikit atap di bawah bulan purnama di teluk cinta
Mari bercinta, dengan rasa yang terus berbeda
Yang tak akan kunjung selesai
sampai leher ditebas oleh algojo hidup
Yang diikuti seringai puas.
Freedom, Bebas, biarkanlah hatimu mencapai cerah tanpa pernah digurui. Karena guru honorer layaknya sebuah paket yang hanya berharga seratus ribu rupiah. Selebihnya janji akan menenangkan paranoia yang membekuk seluruh urat. Tak ada gairah yang mereka rasakan. Hanya butiran nasi yang berhak mengisi perut nan lemah mereka. Janin pun tak sanggup menghasilkan jabang bayi merah, hanya susu formula yang mampu memberikan gizi ajaib bagi sang pengguna dunia baru. Bayi semacam cangkang, jika tak puas, makhluk itu ke luar mencari tempat yang baik. Ibu lepas tanggung jawab, ayah hanya bisa mencucurkan peluh selanjutnya mencari air yang lain.
Bunda, bunda, Bobolah dirimu. Kuganti dengan popok berbau pesing. Aku cuci sendiri. Jangan lihat dulu, aku malu karena belum dewasa untuk mandiri.
Tentu Mama suka, jangan panggil Bunda. Itu sebutan orang budak yang suka menanam tebu. Dihargai hanya sepuntung rokok. Lima, seribu rupiah. Mengisi para tukang angkot yang kebal-kebul menikmati rokok. Alangkah tebu menjadi komoditas politik yang usang, harga tak seberapa mulut para petaninya akan disumpal dengan janji yang manis bak tebu.
Ayah, itu ayahmu sedang menghadap tembok. Dia sedang menyirami tanaman. Gambar yang kaulukis di sana, Nak. Tanaman hijau, bunga matahari. Bukankah ayahmu sangat menyayangi dirimu, Nak. Menyuburkan lahan tempat kau menanam tebu dan bunga. Subur tanahnya. Dengan urea yang tersaring di ginjalnya yang tinggal separuh. Itu akibat kerja kerasnya, Nak. Tinggal separuh, melupakan makan siang, minum air putih, justru keruh, hanya untuk kesejahteraan kita.
Mama, coba ke sini. Di sini, ayah menemukan kata bijak. Guru kencing berdiri, anak kencing berlari. Mari berkejaran tanya jawab, apakah si guru dan anak didiknya saling mengencingi. Mengajarkan tawuran, menerima ajaran, dan membuat nama sekolah harum. Aku sedang mengamati, Ma. Jangan senggol nama baikku. Ini hanya sekedar tongkat. Nanti malam kita bicarakan lebih lanjut. Paham.
Air dan cinta.
Mati dan negeri Si Aa
Mengejar impian, mengejar berahi
Tunjukkan gigi tonggosmu ke arah si Buta Cakil
Bersulang dengan wine, tenggak seluruhnya
Jangan tersisa, maukah kau menjadi cemoohan
Sedikit saja, iblis merayu pelan
Tertawa cekikan, di ujung rasa yang tak pernah ke luar
Di tunggu di ujung tahun di malam gerimis di rumah sedikit atap di bawah bulan purnama di teluk cinta
Mari bercinta, dengan rasa yang terus berbeda
Yang tak akan kunjung selesai
sampai leher ditebas oleh algojo hidup
Yang diikuti seringai puas.
BalasHapusBung, selamat datang di pagelaran hidup.
Tapi aku sepenuhnya yakin, ada jalan menerbitkan buku yang tidak nge-pop.
BalasHapusEntah di negeri mana?
bentar, masalah diterbitkan itu masalah ke sekian.
penting, berlatih dan berlatih.
masih panjang waktu kita, Bang!
BalasHapusAha! Maka, selamat menumpuk naskahmu memenuhi ruang pemikiran belaka.... Crot.
dasarrr
BalasHapusbennnnnn karepeeeee
aku ya pusing carane gimana
yuk independen nerbitin karya kita yuukkkkk
BalasHapusAh, kedengarannya sangat revolusioner. Sudah nyiapin nyawa serep???
Mmm ... melempem deh!
BalasHapusDasar, kamu tuh bukan motivator. Tapi pembunuh berdarah dingin.
Sik aku mau beli jamu "Kuat tahan Satu Jam"
Awas lo yeeee
BalasHapusAh, jamu yang diiklankan Biduan Dangdut Goyang Melintir itu yah?
Tidak. Aku bangga sebagai orang yang hidup di tengah belantara perjamuan.
BalasHapusJamu gaya bersilat
Jamu Jantan di Panggung politik
Jamu sari rapet merahasiakan kegalauan materi
Jamu Cinta Segitiga
dan masih banyak yang lainnya ow owww