Header Ads

Maaf Pemerintah. Saya Menerima Nobel Sastra

    Pidatoku saat menerima Nobel Sastra:
 
Alhamdulillah. Maaf jika Anda sekalian kurang nyaman saat saya membuka dengan kata itu. Saya memanjatkan setinggi-tingginya, ke puncak harapan, menuju Khalik saya. Di seluruh hidup saya dan bangsa yang telah membesarkan diri saya. Saya sebetulnya malu menerima penghargaan besar ini. 
    Sebentar, maaf. Saya lupa, assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. 
    Diam, sebentar. Pandangan tajam diarahkan kepadaku. 
    Aku berdeham. 
    Maaf, bolehkah saya melanjutkan pidato saya. 
Baik, puji syukur kehadirat Allah sang Pencipta Waktu. Saya tidak menyangka menerima Award ini. Goresan pena saya sangat biasa, saya hanya menghadirkan keluh kesah yang saya alami. La kok ndilalah, ada orang iseng yang mengirimkannya ke juri festival tulis-menulis. La blaik to, saya hanya orang kecil je. Menulis hanya untuk mengisi waktu luang. Tapi mengapa saya mendapat penghargaan setinggi langit. Apa yang bisa saya katakan kepada Presiden saya? La wong, saya ini hamba sahaya yang hanya bisa menulis perilaku klemak-klemek pujaan saya. Ya, presiden itu. Pemimpin saya. Negeri Rindunesia pasti mengirim bala kurawa, menjemput kehadiran saya di bandara. Apakah? Akankah? Todong, saya akan ditodong dan masuk penjara. Tolong, kasih saya suaka agar hidup saya aman. 
    Wah, Anda para juri tega sekali memilih saya menjadi pemenang. Sudah dicari belum sumber bajakan saya? Memang saya tidak membajak, tapi apakah Anda tidak curiga dengan tingkat orisinalitas karya saya. Banyak karya di negeri ini tidak orisinil, menjiplak, tak memiliki jiwa. Hanya bualan kosong yang terus membidik untuk difilmkan. Itu kunci mati di negeri saya. Anda rela karya saya diubah menjadi karya ajaib yang mengeruk jutaan penonton dalam hitungan hari. Anda semua pasti malu menerima saya menjadi sastrawan kelas dunia dari bangsa yang tak menghargai sebuah perenungan. Instan, instan, dan selalu materi yang diharap. 
    Ho, ho, aku kembali. Kamu melebih-lebihkan berita. Sudah terima saja penghargaan itu. Pasti kau digoyang maut dengan artis dangdut beromset milyaran rupiah. Apa tidak enak dengan impian yang terwujud?
    Maaf, sekali lagi para juri Nobel. Saya belum mampu. Tapi jika berkenan, piala ini saya serahkan tapi uang bonus dinaikkan tiga kali lipat. Agar daftar peraih nobel tidak dikotori dengan seorang nama penulis paling bejat di negeri bernama Rindunesia. Saya tidak rela kesucian nobel terganggu oleh kehadiran saya. 
    Tolong tinjau kembali penghargaan ini. 
    Saya hanya butuh tempat nyaman selain Rindunesia. Setidaknya untuk berkarya. Tapi Rindunesia juga bagus di mata saya. Waduh, inilah yang menjadikan saya kurang gereget. Plin-plan. Sudahlah, saya tutup. Pidato ini dengan bahasa Rindunesia, bukan Inggris. 
    I'm sorry good bye. 
    Good evening.
    Tanpa tepukan, tanpa bendera dua warna berkibaran. 
    Rindunesia kehilangan kesempatan besar menaruh nama negaranya di daftar pemenang nobel sastra. 

9 komentar:


  1. Seandainya saja ada kategori Nobel untuk Sastra Yang Dilayarlebarkan......

    BalasHapus
  2. Siapa pemenangnya?
    Aku yakin Parida Pasha Ungu!

    BalasHapus

  3. Ah, kau mulai lancang kuning, nyebutin nama asli.... Tabu.

    BalasHapus

  4. Minta maap sama Mak Lampion itu!!!

    BalasHapus
  5. Nehi, aku ga kenal!
    Dia bisa guna-guna ga?

    BalasHapus

  6. Bisa, bahkan dia bisa menumbuhkan duren Medan di dalam lambungmu.

    BalasHapus
  7. aku panggil ahli medis dong
    rasionalitasku mengatakan, "Aku tak percaya ilmu dukun."
    tapi hati kecilku berteriak, "Oh, Mas Danny yang cakep. Beri nafkah lahir batin Nenek Sihir terlunta-lunta itu!"

    BalasHapus

  8. Gih minta Mak Lampion nyantet penulis rambut gimbal itu, apakah rasionalitasnya dan keilmuannya bakalan masih cespleng? Mbuh.

    BalasHapus