Dalam Gerbong Berharga 28 ribu (Seri Pelancong Gendong)
Menuju kota lahir. Kembali. Melihat adinda disunting. Satu lepas dari rahim ibu. Sebagai wadah sperma anak orang lain. Tangis, sedih, suka campur bawur. Tersisa napas putus, nyawaku tertahan. Dikempit ketiak bau, tersiksa, ingin buyar, hatiku. Kutahan biar, biar saja, merelakannya. Basah pipiku.
Gerbong berkarat tanpa diperhatikan jadi saksiku. Kegamanganku berjalan, butuh papahan tanpa mampu tegak. Gerumulan orang, cokelat dan hitam, bersuara Jawa, riuh rendah tak terkira. Inilah kereta kehidupan, senyata-nyatanya hidup, tanpa kotak yang tak mampu ditembus.
Rokok, asap membumbung, ornamen indah khas jelata. Hasil khianat para cukong tembakau bermata duit sen. Hati budak tetap saja bebal, buku dimonopoli pihak intelek, menyembunyikan ilmu di awang-awang. Keadilan kulihat di luar pemikiranku.
Pedagang, oh ... Bunda, aku tak tega menyebut kata ini. Air mataku tumpah, tak bisa kuhentikan. Aku berdosa, dosa besar, menolak juga menghindar dari tanggung jawabku. Aku gagal menjadi anakmu, Bunda. Belum mampuh kuraih citamu. Terdampar di pulau rasaku yang melangit. Ingin kulakukan sesuatu, tapi apa? Aku terjebak.
Idealisme berujung di tembok berbau kencing.
Anjing juga ikut berpesta pora di tempat itu. Melayangkan kucuran urine entah rasa.
Bunda, aku kembali lagi kepadamu. Ingin kumemohon maaf. Tulus.
Kereta berjalan. Bandung -- Sragen
Gerbong berkarat tanpa diperhatikan jadi saksiku. Kegamanganku berjalan, butuh papahan tanpa mampu tegak. Gerumulan orang, cokelat dan hitam, bersuara Jawa, riuh rendah tak terkira. Inilah kereta kehidupan, senyata-nyatanya hidup, tanpa kotak yang tak mampu ditembus.
Rokok, asap membumbung, ornamen indah khas jelata. Hasil khianat para cukong tembakau bermata duit sen. Hati budak tetap saja bebal, buku dimonopoli pihak intelek, menyembunyikan ilmu di awang-awang. Keadilan kulihat di luar pemikiranku.
Pedagang, oh ... Bunda, aku tak tega menyebut kata ini. Air mataku tumpah, tak bisa kuhentikan. Aku berdosa, dosa besar, menolak juga menghindar dari tanggung jawabku. Aku gagal menjadi anakmu, Bunda. Belum mampuh kuraih citamu. Terdampar di pulau rasaku yang melangit. Ingin kulakukan sesuatu, tapi apa? Aku terjebak.
Idealisme berujung di tembok berbau kencing.
Anjing juga ikut berpesta pora di tempat itu. Melayangkan kucuran urine entah rasa.
Bunda, aku kembali lagi kepadamu. Ingin kumemohon maaf. Tulus.
Kereta berjalan. Bandung -- Sragen
Wah, Bandung-Sragen, 28 ribu??? Kau pasti bohong. Medan-Ranto aja 40 ribu.
BalasHapusbeneran.
BalasHapuseh, aslinya Bandung - Solo Jebres: 28 ribu. Tapi karena aku pengin liat kota Sragen, aku bablas saja. Tanpa uang tambahan.
Blaik, ternyata stasiun Sragen ama halte bus menuju Purwodadi JAUHHHH.
Makanya jangan boong ......
BalasHapusLaen kali pake jaket loreng-loreng, biar dapat rabat.
wahhh ndak ngece gitu donggggg
BalasHapussecara om ku juga berprofesi itu
tak kandakke konnnnnn
BalasHapusLah kebetulan kalau begitu.... Pinjem ajah jaket kebanggaannya itu....
Maaf ya.Dia tipe orang militer yg dermawan.Ga prnah bunuh,krja pk otak ga emosi.Anti perang,tp nasionalis.Jg kritis.Itulah om militer khayalanq
BalasHapus
BalasHapusMudah-mudahan saja nyata, amin.