Header Ads

Pamitku Menjemput Hari

Detik terakhir ini aku memohon kepadamu. Hentikan napasmu sebentar dan tolong dengarkan aku. Bukalah hatimu saat aku mengucapkan sebuah kata, berpisah darimu. Itu saja yang ingin kukatakan tak lebih.

            “Benarkah?”

            “Ya, aku jujur padamu. Aku ingin rehat dan kutata hidupku kembali.”

            “Hendak ke mana dirimu? Tak cukupkah dengan keadaanmu sekarang? Kurang apalagi? Harta ada, isteri baik, kau ingin apa lagi?”

            “Entah, sulit kujabarkan. Pasti kau akan terus bertanya, kenapa aku membuat keputusan seperti ini.”

            “Tapi aku sahabatmu, Fan. Tak bolehkah aku mendengar alasanmu. Kalau kau masih menganggapku, tolong jelaskan.”

            “Sudahlah, Yan. Biar aku sendiri yang menanggungnya, isteriku pun tidak tahu.”

            Menghela napas panjang, memandang penuh tanya, Ryan mencoba memaklumi keputusanku. Tapi sungguh berat aku untuk  menceritakannya. Hanya aku sendiri yang akan menanggungnya, isteriku pun tidak.

           

            Aku menyusuri jalanan ini dengan perasaan yang masih kalut. Hutan cemara yang kulalui tak lagi menjadi penggembiraku, semua masalah seakan muncul tiba-tiba. Dipicu oleh ucapan teman kantorku, aku yakin dia tidak sepenuhnya bersalah, amarahku seakan terungkit kembali. Tapi beruntung sekali takaran kemarahan itu tak seperti dulu. Aku telah belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah kuperbuat. Tidak ada alasan aku untuk terlalu emosi. Aku masih bisa menekannya walau kadang mencuat, marah dan kecewa.

            Apalah artinya diriku, aku bukan siapa-siapa, kalimat itu selalu menghantuiku di saat limbung menyapa hatiku. Perasaan tak berarti, dilecehkan, dicampur dengan kondisi mentalku yang melemah, satu masalah seolah menjadi penyulut kebrutalanku. Terperosok kembali ke dalam lubang yang sama. Klasik dan aku sulit untuk melepaskannya. Aku merasa dunia terkadang tidak adil terhadapku, separah itulah yang saat ini kurasakan.

            Iringan musik yang kuputar lirih tak mampu menutupi kekesalanku. Pikiranku melayang entah ke mana, konsentrasiku buyar, dan terpaksa kuhentikan sejenak mobilku. Tepat di depan warung kecil yang menjajakan aneka buah. Di balik tumpukan buah, aku melihat separuh wajah ibu tua yang sedang menginang dengan amat asyiknya. Matanya menyiratkan sebuah harapan, agar aku turun dari mobil dan membelanjakan barang sepuluh ribu rupiah.

            Bagaimana bisa di jalanan sepi seperti ini ibu itu menjual dagangannya. Apakah dia seorang diri tanpa cucu yang menemaninya? Aku rasa dia telah ditinggal mati suaminya hingga memutuskan untuk menghidupi kehidupannya bersama cucunya. Tapi di mana cucunya sekarang? Apakah dia sedang bermain-main di tanah lapang? Bermain layang-layang, mempermainkan angin, bersenda gurau dengan teman-teman sekolahnya. Ah, aku tidak tahu bagaimana kehidupan ibu itu sesungguhnya. Semua hanya perkiraanku saja. Belum tentu benar.

            Tergerak, bukan atas rasa iba, aku putuskan menyambangi ibu itu. Aku akan berbasa-basi menanyakan ini dan itu, dan selanjutnya membeli satu kilo atau jika buahnya manis aku membelinya dua kilo. Jeruk yang akan kupilih untuk isteri dan anakku di rumah.     

            “Sore Bu. Ibu sendirian?” tanyaku memulai pembicaraan.

            “Ya Nak. Cucu saya sedang ke hutan mencari kayu.” Jawabnya ramah.

            “Kayu buat masak ya, Bu?” Basa-basiku makin terpicu saat mendengar tebakan awalku jika si ibu mempunyai cucu ternyata benar.

            “Betul, Nak. Sambil menunggu cucu, saya menjual buah-buahan ini,” dia menunjuk dagangannya dengan kebasan tangan yang optimis. “barangkali ada orang yang lewat dan membutuhkan buah.”

            Aku terpana. Logikaku sebagai orang yang dibesarkan di kota mempertanyakan kelaziman ini. Apakah ada orang yang membeli buah-buahan di tempat sesepi ini. Aku berpikir, orang yang melewati jalan ini telah mempersiapkan oleh-oleh mereka dari toko buah di kota.

            “Nak, jangan melamun. Tidak baik. Anak muda harus semangat. Seperti ibu ini, jualan buah sejak suami ibu masih hidup.”

            “Maaf Bu, bolehkah saya bertanya?” aku mencoba melontarkan pertanyaan yang tidak menyinggung perasaan si ibu.

            “Tentu boleh, Nak. Silakan.”

            “Ibu, apakah banyak yang membeli buah-buahan ibu?”

            Ibu itu tersenyum, aku mengikutinya. “Lumayan, Nak. Sering kali orang-orang yang lewat turun dan beristirahat di sini. Mereka lalu membeli dagangan ibu. Mereka bilang buah-buahan ibu enak rasanya.”

            Dia menawarkan satu butir jeruk kepadaku untuk dicicipi. Aku menerimanya dan mencobanya. Memang manis dan segar. Belum sempat kutambah pertanyaanku, ibu itu menawarkan buah yang lain.

            “Cukup, Bu. Saya beli dua kilo jeruk ini.”

            “Terima kasih, Nak.” Ucap ibu itu. “Kalau boleh tahu, Anaknda mau ke mana?”

            “Saya hendak pulang, Bu. Saya sering lewat sini, tapi kenapa saya baru melihat warung ibu, ya?” tanyaku heran.

            Tangan ibu itu sibuk memasukkan butiran jeruk ke dalam timbangan. Dia terlihat serius melihat jarum takaran, hingga aku tak ingin mengganggunya. Aku tak meneruskan pertanyaanku.

            “Ini, Nak. Sepuluh ribu rupiah.”

            Aku mengambil uang dari dompet dan menyerahkannya kepada ibu itu. Diiringi senyum menawannya, yang sepertinya sudah tidak lengkap lagi karena giginya yang ompong, dia mempersilakanku untuk meneruskan perjalanan. Dia seakan tahu jika isteri dan anakku di rumah telah menanti.

            “Jangan lupa untuk mampir lagi, Nak. Kapan-kapan kuperkenalkan dengan cucuku. Dia pasti senang bertemu denganmu.”

            Tak lupa kuucapkan terima kasih. Aku pun meninggalkan warung itu. Kali ini pertanyaan-pertanyaan yang selalu menggodaku untuk menyelaraskan logikaku dengan hal sekitar telah hilang. Agaknya kehidupan nyata tak melulu membutuhkan nalar. Kadang kala kita harus melepaskan hal-hal yang menurutku kita wajar. Hidup menawarkan sesuatu yang spesial dan tak pernah kaku memandang kita. Tapi mengapa aku selalu bertingkah seperti ini? Ah, aku menemukan sesuatu yang baru.

            Satu pikiranku, aku memberikan hadiah ini buat isteri dan anakku. Pasti mereka menyukainya.

Tidak ada komentar