Header Ads

Balada Minuman Kaleng Menanti Maut (Stop Hukuman Mati?)

Sebelum kubuka, kaleng itu kutatap tajam. Beberapa detik lagi, ia akan kugagahi—kubuka pengaitnya. Aku tak mau mengocoknya, takut meletus dan melukai diriku sendiri. Harus hati-hati, antara memilih melukai atau terkena imbas. Begitu pula hidup, mirip dengan nasib kaleng.

            Merah menyala, bertuliskan merek minuman terkenal. Aku masih belum siap untuk melakukan penjarahan besar-besaran. Kubuka katup, sekali lagi, kutenggak isinya, lantas kulempar ke tempat sampah.

            “Ayolah, segeralah cabut nyawaku, Tuan.” Kaleng itu berkedip matanya, menyalurkan semangat biadab untuk membunuh.

            Aku masih menahan emosiku untuk tidak takluk pada keinginannya. Jika aku salah memutuskan, bisa jadi harga diriku sebagai manusia pupus. Musnah tak berbekas hanya karena ego untuk segera menikmati sebuah benda.

            “Tak berani ya? Memang mentalmu hanya sebatas memelototiku.” Kembali kaleng itu merajukku. Kini terang-terangan dan bernada sinis, merendahkan diriku. Aku mulai panas. Namun, kembali lagi kutata emosi agar amarahku tak meletus.

            “Mengapa kau ingin aku segera memegangmu? Bukankah sudah jelas hidupmu berada di tanganku, wahai Kaleng?” aku bertanya.

            “Kalau kau tahu hidupku ada di tanganmu, kenapa kau tidak segera melakukannya?”

Dia justru bertanya balik kepadaku. Kaleng yang aneh. Aku tak mampu menjawabnya. Kubiarkan kaleng itu di atas meja. Biar orang lain melanjutkan cerita ini, apakah kaleng itu meregang nyawanya di tangan orang lain, aku tak peduli.

Tidak ada komentar