Header Ads

Dokter Berbulu, Dokter Impian (Novel Pembangun Jiwa yang Tahzan)

Aku tak mampu tanpa kehadiran dokter pujaanku di sisiku. Sentuhan stetoskop oleh tangan lembut dan bersahabatnya, membuatku mabuk kepayang. Tanpa tekanan, oh tidak justru dengan tekanan. Entah tekanan apa, aku sulit menjabarkannya.

            Baju kebesarannya yang berwarna putih kapas membuaiku, memasukku di dalam alam imaji yang tak pernah putus. Belum lagi seringai manisnya, sungguh keterlaluan memang dia, telah memikatku seperti ini.

            Kanker, sepintas dalam pikiranku adalah sebuah harga mati. Tapi sejak kehadiran malaikan-berwujud-tanpa sayap di hadapanku, rasa sakit di payudara berangsung menghilang. Aku yakin sepenuhnya jika dialah jawaban yang selama ini aku layangkan kepada Tuhan.

            “Tuhan, kirimkanlah seorang penyembuh kepadaku. Aku rela membayar kesalahanku, asalkan pemuda pujaan hatiku datang.”

            Dokter yang dulu pernah menangani sakitku, selalu menyebut angka per angka kapan aku menjemput maut. Dalam hitungan bulan, sekian tahun, yang semakin membuatku tenggelam dalam bayang-bayang kematian.

            ‘Teruslah berdoa, Nyonya. Semoga Tuhan memberikan keajaiban bagi Anda.’ Kalimat itu sering kali dialamatkan kepadaku, si pasiennya. Di hadapan suamiku. Ini layaknya pukulan telak untukku dan seluruh keluargaku. Serasa langit runtuh menimpaku, langsung memasukkanku ke liang lahat kematian. Beberapa hari aku tak mampu menelan barang sesuap makanan, minuman itu kuperoleh dari selang infus.

            Dalam bayanganku, aku tidak membayar dokter untuk memvonis seberapa lama lagi aku berhak menghirup udara bumi. Aku membayar mereka untuk mencari tahu, mendiagnosis jika menggunakan bahasa mereka, sebetulnya aku menderita apa. Tidak untuk menggantikan Tuhan. Sesenggukan di dalam kamar rumah sakit, yang kuumpat sebagi rumah penjagalan, kedua anak dan suamiku menenangkan batinku.

            “Ibu, kakak janji akan rajin belajar. Biar kakak nanti jadi dokter, buat menyembuhkan Ibu.” Anak sulungku berucap

            “Iya, Bu. Adik juga janji seperti kakak. Tidak suka marah sama Ibu. Janji deh, tidak nakal lagi.” Kata anak bungsuku penuh semangat.

            “Anak-anak, Ibu perlu istirahat barang sehari dua hari. Nanti, Ibu akan segera sembuh dan kembali ke rumah. Ingat janji kalian, ya!”

            Ucapan suamiku meredakan kesengsaraanku. Biarpun sementara, tapi setidaknya mampu memperingan diriku untuk menjemput maut. Ah, kenapa aku selalu memikirkan itu. Sungguh aku saat ini berada di dalam sebuah lubang gelap yang aku di sana sendirian.

            Dokter berbaju putih bersih dengan mata berbingkai kacamata minus. Dia tidak akan mungkin menggantikan posisi suamiku, aku tak mungkin berpikir sejauh itu. Suamiku adalah separuh jiwaku. Aku hanya teringat sosok ayahku yang telah lama meninggal dunia. Dia tampak mirip dengan ayahku. Gerak tangannya saat menuliskan catatan medisku, dan cara bicaranya yang sopan ketika memerintahkan suster membantuku berdiri. Apakah dia titisan ayahku?

            “Ibu, jika butuh apa-apa, silakan menghubungi saya. Meskipun stadium kanker ibu besar, tapi masih ada harapan untuk sembuh. Percayalah Bu. Kami, tim dokter rumah sakit ini, akan berjuang membantu Ibu.”

            Perkataan model apakah yang sempat kudengar. Telingaku terasa asing menerimanya. Ia seperti mutiara yang sempat hilang dan kini kutemukan kembali. Rasa percaya diriku untuk kembali hidup naik kembali. Dan ini karena dokter muda yang ucapannya bersayap surga. Tentu juga atas dukungan suami, anak-anak kecilku, dan keluarga.

           

Tidak ada komentar