Header Ads

Merintis Bisnis Topeng Monyet (Menerima Lamaran Para Pecandu Politik Gersang)

Kau temani dentingan gitarku dengan alunan merdu suaramu. Petikan dawaiku juga kau mesrai dengan geliat badanmu yang hangat. Kita bersama di pantai harapan. Di awal kisah hidupku, membina keluarga asri yang kita sumpahkan.

            Pagi pertama saat jari kelingking kita telah menyatu. Tak ada cincin pertunangan lagi, kini pernikahan yang kita jalani. Tak ada batasan siapa dirimu dan diriku, jiwa dan tubuh kita telah menyatu dalam satu perahu kehidupan. Kuyakin kau juga merasakan hal yang sama denganku. Menemaniku menyosong cita-cita abadi menuju Tuhan. Menggenapkan dan menuntaskan peranan kita di bumiNya. Kita selalu bercanda seperti itu. Alangkah kelakar yang amat indah.

            Kau sibakkan rambutmu kala kumalai mendendangkan sebuah lagu. Lagu yang lain selain yang kau ucapkan tadi. Kini tidak lagi lagu ceria, tapi lagu sedih. Mengenang ayah bundaku yang jauh di tempat sana. Entah apa yang mereka lakukan. Aku merindukan mereka. Kau selalu berkata agar aku tak terlalu larut dengan kesedihan ini. Bibirmu selalu menghiburku agar melanjutkan hidup yang jauh dari orang tua. Terus terang aku belum bisa melupakan tanggung jawabku terhadap keluargaku. Bukan berarti menyesal memutuskan untuk menikah. Tapi beban sebagai anak sulung membuatku terus berpikir keras untuk membantu ayah bunda.

            “Mas, kalau kamu terlalu berpikir seperti itu, kamu sendiri yang rugi. Jalani saja hidup ini, nanti juga akan bisa membantu mereka lagi.”

            Aku bersyukur memiliki istri sepertimu, yang mengerti diriku apa adanya. Tak tahu seandainya aku tak pernah mengenalmu, jadi apa aku saat ini. Tuhan mengirimkan malaikat di saat tepat. Dirimu.

Tidak ada komentar