Header Ads

Dosa Terbesarku Sebagai Anak Sulung

Dosa besarku sebagai anak sulung terus menumpuk. Ini berawal ketika aku meninggalkan kota Surakarta lebih dari setahun yang lalu. Mencoba peruntungan di kota Bayam, beralih profesi, dan menerbitkan risiko yang sungguh tak terperikan. Menjadi orang lain begitu aku menyebutnya.

            Aku menjadi penyanyi latar di sebuah diskotik ternama di kota Bayam. Kebetulan penyanyi latar yang biasanya mengisi acara tengah sakit demam berdarah. Mendapat informasi dari agen intelejen perburuhan, aku pun nekat menerima tawaran yang tak pernah terbayangkan olehku. Kegemaran menyanyiku hanya tersalurkan melalui ruang sempit sembilan meter persegi pengap. Kamar mandi selalu memberikan inspirasi terbesarku. Melolongkan nyanyian yang mendapat cemoohan pendengarnya, aku girang tak karuan. Mungkin Tuhan menunjukkan jalan hidupku selanjutnya. Aku terima tantangan itu.

            Di kampung halamanku, bunda kebingungan. Apa lagi yang akan dilakukan oleh anak sulungnya. Aku anaknya, tak pernah ingin dikekang oleh sesuatu pun. Bunda berpikir, apa lagi yang ingin dicari diriku. Begitu aku meraba-raba melalui insting anak yang kusalurkan ke hati bunda. Mencoba menjelaskan melalui nada telepon, juga bisikan hati, bunda merelakan aku melangkah walaupun di luar jalur pendidikanku. Aku lulus dari STM bangunan. Sudah dua tahun setengah aku bekerja di pabrik pembuatan batu bata. Jatuh bangun aku merasakan perih dan manisnya hidup menjadi kuli bangunan. Batu bata seakan menjadi mimpi yang kadang kunikmati dan tak jarang kuberi umpatan. Sejahat itukah aku menerima rezeki Tuhan? Bukan, bukan itu yang kuinginkan. Aku hanya ingin mencari jati diriku. Itu saja.

            Awal mula, aku bernyanyi agak gugup. Namun sang penyanyi utama yang kuiringi memberikan kesempatan pada diriku untuk santai bernyanyi. Dia berucap, ‘Lepaskanlah dirimu seperti burung kolibri yang hendak menyesap madu bunga’. Imajinasiku yang terlalu berlebihan, dan tak pernah dikeluarkan saat di tempat awalku bekerja, mendadak meletup. Ada perasaan menggelegak, berisi aliran listrik, yang hanya aku sendiri dapat merasakannya. Aku menyanyi, aku berdendang. Hatiku buncah dan meneriakkan bunyi-bunyian yang merdu. Melodi harmoni yang kucari-cari selama ini sepertinya telah kutemukan. Sepertinya ....

            Bunda telah terlupakan. Tak lagi uang kukirimkan. Aku lupa.

            Itulah dosa terbesarku.

            Uang usai tampil aku belanjakan untuk kepuasan hatiku. Bukan untuk membeli sesapan pemabuk diri, bukan untuk membakar rokok, tapi aku terlalu sibuk mengurus badanku sendiri. Makan, biaya penginapan, dan aneka kebutuhan pribadi. Uang habis tak berbekas. Tak kupunya tabungan lagi, masa depanku secara ekonomi tak tertata lagi. Lalu aku serasa ingin kembali ke masa lalu. Pekerjaan yang dulu kulepas seakan menjadi mimpi indah, kembali mengisi malam-malam heningku. Tapi itu jelas tak mungkin kuulang kembali. Sangat tidak kuhendaki. Aku telah memutuskan menjadi penyanyi, risiko harus kurasakan.

            Satu tahun lebih aku menjadi penyanyi. Tidak lagi penyanyi latar, tetapi penyanyi utama. Banyak mata yang melihat sepak terjangku, dan kini makin banyak tuntutan agar penampilanku memuaskan banyak orang. Aku sadar, kehidupan telah menyeretku menjadi milik umum. Anehnya, dompetku masih menipis. Saat sakitpun kadang aku kepayahan memikirkan dari mana aku menambal kekurangan uang itu. Bunda tidak pernah tahu anak sulungnya, tapi hatinya pasti tahu. Aku merana dan dilanda kesulitan. Amat parah. Akan tetapi, apakah aku akan menyerah begitu saja? Betapa bodohnya jika aku berpikiran seperti itu. Semoga tidak akan pernah terjadi kepadaku.

            Tantangan itu datang. Adikku lulus STM. Dia dalam kebimbangan. Kuliah atau kerja. Jika kuliah, uang dari mana untuk mendaftar dan membiayai. Kerja, dia masih belum dapat. Aku sebagai anak sulung kembali dihajar oleh kasus ini. Aku harus mencari sebuah jawaban.

Tidak ada komentar