Surat teruntuk Sri Mulyani
Sri Mulyani:
'Saya berhasil dan menang karena tidak didikte oleh siapa pun. Saya merasa berhasil karena saya tidak mengingkari nurani saya, dan saya masih menjaga martabat, serta menjaga harga diri saya. Maka saat ini saya menang .'
Yah, antara menang dan kalah. Dua kata yang selalu saya kritisi, mengapa harus ada dua kata itu. Tentu, ada pihak yang dikalahkan, pun yang menang dengan menepuk dada sekeras dan sekencang semampunya. Bagi saya, menang dan kalah itu bukan mutlak harga diri. Terlalu lelah untuk mengukur seberapa tinggi dan besar harga diri yang dipunya. Dan ujung ujungnya, menangis batin. Bertanya, 'Mengapa segala yang saya berikan tidak mendapat nilai di mata orang lain.'
Atau, saya menagih harapan begini: 'Masuklah ke liang kubur, Kau. Sudah mendepak saya. Terima kasih.'
Bukankah sama sama menyakitkan?
Apakah ini suatu peperangan?
Agaknya berlebihan jika saya menganggap ini pertumpahan darah. Anak anak gaul menyebutnya, lebay. Ah, lebay? Kata ini sengaja diembuskan mereka yang tak ingin orang lain berekpresi. Lebay dibuat agar orang lain tak punya kreatifitas lagi. Berlebihan.
Sri Mulyani. Sekarang ia ke Bank Dunia. Bekerja di sana, bergaji berlipat lipat. Andai saya menjadi salah satu asisten dirinya, menghambakan diri untuk mengikuti pola pemikirannya, pasti saya sudah punya rumah, dibelikan segala fasilitas. Asal, saya menunjukkan itikad baik untuk belajar padanya. Tapi, sangat tidak mungkin. Karena saya suka berulah. Untuk membuat geli majikan majikan saya.Tentu bukan untuk melakukan makar. Dari perkataannya, ia tak mau didikte. Oleh kekuatan apapun. Ia lebih mengingini berkembang sesuai hati nurani. Yang dipercayainya. Oh God. Kalimat yang teramat indah menuru saya. Dan juga bergaya fiksi, murni imajinasi. Bagaimana mungkin, 'Hai Madam, inilah Indonesia. Seutuhnya.'
Tahu saya, ia seorang ekonom. Titik. Dulu saya menganggap Sri Mulyani salah, karena saya tidak (lagi) menyukai gaya kepemimpinan Sang Presiden. Berseberangan politik, jika boleh saya menyombongkan diri. 'Maafkan saya, Paduka.' Dan tak jarang saya menyumpahi Sri Mulyani dengan kata kata pujian.
'Hebat. Kemampuan dia mengarahkan pembicaraan Pansus, sangat hebat.'
Dan lain lain, sanjungan jika Sri Mulyani adalah manusia berkarakter di negeri ini. Terlepas, apakah kasus Bank Century benar salah, saya tak lagi peduli.
Hai lihat, ada burung Kolibri di dahan sana.
Jika ia bekerja di New York, Washington, Canberra, apa yang bisa kita berikan kepada Sri Mulyani?
Sangat beragam. Terserah kita masing masing.
Silakan. Mangga, orang Jawa dan Sunda mengatakan dengan huruf vokal yang berbeda.
Sejatinya, Sri Mulyani hanyalah simbol. Ia bukan satu orang. Tapi dua, tiga, atau beribu ribu. Mencerminkan pribadi Indonesia.
Selamat berjuang, Bu Sri Mulyani.
Kita semua berjuang.
Post a Comment