Header Ads

Mencukur Kumis, Pentingkah?

    Komposisi kumisku sangatlah tidak beraturan. Seperti alunan nada sumbang, pertumbuhan kumis ini serasa mengganggu penampilanku. Hanya pinggir saja yang tumbuh mencuat, sedangkan bagian tengah melambat. Aku berpikir apakah ini sebuah kutukan karena aku pernah 'bersumpah' tidak memakan lele? Entahlah, mungkin benar juga kata orang bahwa mulutmu adalah harimaumu.
   Aku raba kembali kumisku, terasa kasar dengan keeksotisan yang diragukan. Jari jempol dan tengah masih merambahi kumis jarangku. Kuambil cermin ala kadarnya pinjaman pak Kos, yang anehnya sudah tiga bulan kupinjam belum kukembalikan. Wajahku sekarang menghitam, entah karena air Cinambo atau karena pikiranku yang akhir-akhir ini kalut. Guratan-guratan di jidat juga terlihat tajam menandakan usiaku bertambah dari detik ke detik. Pisau cukur yang teronggok di atas meja, kulihat sedang berusaha mati-matian menawarkan jasanya. Aku mulai ragu, apakah memuluskan niat semulaku untuk mencukur kumis atau menangguhkannya. Jika kumis ini dibiarkan tumbuh, dipastikan aku semakin terlihat ketuaanku. Apabila aku memangkasnya, maka bisa jadi orang-orang mengiraku yang tidak-tidak. Lelaki tanpa kumis seperti sayur tak bergaram.
   Pisau cukur mengedipkan matanya. Aku sontak kaget. Pelan-pelan kujulurkan tanganku berniat mengambil pisau itu. Aku tarik kembali tanganku. Aku harus menumbuhkan kumisku, melebatkannya secara alami walaupun seperti aku bilang komposisinya tak beraturan. Aku tak perlu minyak Pirdaus atau apalah, toh Tuhan memberikan kesempatan kumis untuk tumbuh. Aku hanya meluangkan waktu sebentar, serta merta kumis pun tumbuh lebat.
   "Maaf Pisau Cukur, aku kali ini membiarkan kumis bermain-main dengan wajahku. Minggu depan saja kau bekerja kepadaku."

2 komentar: